Kamis, 24 September 2020 / 18:30 WIB

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4365227/insentif-pajak-tiap-daerah-berbeda-ini-penyebabnya

Liputan6.com, Jakarta – Pemerintah Pusat telah mengeluarkan kebijakan insentif pajak untuk meringankan beban selama pandemi Covid-19. Skema pengurangan pajak ini diserahkan ke masing-masing pemerintah daerah.

“Pemberian insentif pajak atau pengurangan pajak ini akan disampaikan ke daerah terkait bagaimana skema pengurangannya,” kata kata Staf Ahli Menteri Bidang Ekonomi dan Pembangunan Kementerian Dalam Negeri, Hamdani dalam diskusi virtual bertajuk: Tuntas dan Tunai Pajak Bersama Bukalapak, Jakarta, Kamis (24/9/2020).

Hamdani menuturkan skema pengurangan pajak telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam regulasi ini telah ditentukan mekanisme pengurangan pajak dengan memberikan batas tertinggi. Sehingga batas pengurangan pajak daerah tidak boleh lebih dari ketentuan yang ada.

“Misalnya batas pengurangan pajak 30 persen, maka kalau daerah mau mengurangi pajak harus di bawah atau sama dengan 30 persen,” Hamdani menjelaskan.

Akibatnya pengurangan pajak di tiap-tiap daerah akan beragam. Sebab pengurusan pajak menjadi kewenangan pemerintah daerah.

“Pengurangan pajak daerah itu gimana daerah, kita tidak berikan aturan rigit,” kata Hamdani.

Cara ini dilakukan agar Pemda sendiri yang mengatur pendapatan daerahnya masing-masing. Pemerintah pusat hanya mengeluarkan aturan dan Pemda yang mengurus sesuai dengan otonominya.

“Jadi kita tidak seragamkan, ada yang mengurangi atau memberikan kebebasan pajak daerah. Otonominya kepada daerah dan dibuat dalam payung hukumnya untuk mengatur daerahnya sendiri,” kata dia mengakhiri.

Sebelumnya, Penerimaan pajak hingga akhir Agustus 2020 mengalami kontraksi sebesar 15,6 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Dengan begitu, penerimaan pajak sampai dengan akhir bulan kedelapan baru sebesar Rp 676,9 triliun.

“Penerimaan Pajak mencapai Rp 676,9 triliun, maka penerimaan pajak kontraksi 15,6 persen,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dalam keterangan pers secara online, Jakarta, Selasa 22 September 2020.

Sri Mulyani merinci penerimaan perjenis pajak, untuk PPH 21 secara year on year mencapai negatif 5,27 persen, namun dibandingkan tahun lalu tumbuh 10,5 persen. Apabila dilihat secara month to month, kontraksi terdalam terlihat pada Juli yakni minus 20,38.

“PPH 22 impor, kondisi impor kita masih sangat dalam dan terlihat dari PPH impor kita. Bahkan kuartal I yang negatif, Kuartal II ini dari Juni Juli Agustus kita lihat kontraksinya semakin dalam di negatif 65,5 dan 69,7. Secara year on year PPH 22 impor itu dari tadinya tahun lalu hanya tumbuh 0,57 tahun ini kontraksinya negatif 38,44,” paparnya.

Lalu PPH Orang Pribadi mengalami rebound di Kuartal II karena pergeseran pembayaran, namun masih bisa bertahan pada Juli dan Agustus yakni 11,5 persen dan 3,56 persen. “Kita tetap menjaga untuk Orang Pribadi meskipun kita lihat secara meluas masyarakat mengalami tekanan dari pendapatan mereka,” kata Sri Mulyani.

Selanjutnya, PPH badan masih mengalami tekanan sangat berat. Secara year on year pada tahun lalu 0,81 persen, tahun ini minus 27,52 persen. Month to month juga masih menunjukkan tekanan bahkan lebih berat dari kondisi Juli dan Kuartal I.

Kuartal I Pajak penghasilan badan atau PPH badan kontraksinya 13,5 persen, pada Agustus Juli sudah mencapai hampir 50 persen yakni 45,5 dan 49,9 persen.

“Ini berarti sektor usaha perusahaan atau badan mengalami tekanan luar biasa yang kemudian terlihat dari penerimaan pajak badan. Ini juga sebagian beberapa komoditas seperti CPO, batubara yang alami tekanan meski CPO agak positif,” paparnya.