29/04/2024
Source: https://www.pajak.com/pajak/inflasi-tinggi-dorong-pajak-tenaga-kerja-di-negara-oecd-meningkat/
Pajak.com, Jakarta – Sebuah laporan terbaru dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengungkapkan bahwa inflasi tinggi yang berlanjut selama dua tahun berturut-turut telah dorong kenaikan pajak tenaga kerja di negara-negara anggota OECD pada tahun 2023. Laporan “Taxing Wages 2024” menunjukkan bahwa tarif pajak efektif atas pendapatan tenaga kerja meningkat di mayoritas negara OECD.
Akibatnya, pendapatan pascapajak bagi pekerja lajang dengan upah rata-rata mengalami penurunan di 21 dari 38 negara anggota.
“Di sebagian besar negara, peningkatan pajak tenaga kerja terutama didorong oleh peningkatan pajak penghasilan (PPh) pribadi. Sementara upah riil menurun di 18 negara OECD, upah nominal meningkat di 37 dari 38 negara OECD, karena inflasi tetap di atas level historis,” tulis laporan tersebut dikutip Pajak.com, Sabtu (27/04).
OECD mengungkapkan, tanpa adanya sistem indeksasi pajak otomatis di banyak negara OECD, inflasi tinggi cenderung meningkatkan beban pajak pekerja dengan memindahkan mereka ke braket pajak yang lebih tinggi, serta mengurangi nilai keringanan pajak dan manfaat tunai yang mereka terima. Analisis OECD terbaru ini berfokus pada perbandingan lintas negara dari beban pajak tenaga kerja, yang didefinisikan sebagai total pajak atas tenaga kerja yang dibayarkan oleh karyawan dan pemberi kerja, dikurangi manfaat keluarga, sebagai persentase dari biaya tenaga kerja.
Studi ini melibatkan delapan jenis rumah tangga yang berbeda, dengan variasi berdasarkan tingkat pendapatan dan komposisi rumah tangga.
“Untuk pekerja lajang yang mendapatkan upah rata-rata, beban pajak rata-rata di negara-negara OECD adalah 34,8 persen, dengan rentang dari 53 persen di Belgia, hingga 0 persen di Kolombia pada tahun 2023. Beban pajak rata-rata untuk jenis rumah tangga ini meningkat sebesar 0,13 poin persentase dari tahun 2022, menandai peningkatan untuk tahun kedua berturut-turut,” ujar OECD.
OECD pun menyoroti Australia yang mengalami kenaikan tarif pajak terbesar. Laporan ini menunjukkan bahwa pekerja berpenghasilan rendah dan menengah menanggung beban terberat dari peningkatan ini. Menurut OECD, tarif pajak pribadi rata-rata di Australia meningkat sebesar 7,6 persen untuk tahun fiskal 2022–2023. Kenaikan ini merupakan yang terbesar di antara 37 negara anggota OECD, dengan Luksemburg di posisi kedua dengan kenaikan sebesar 5 persen, diikuti oleh Selandia Baru dengan 4,5 persen.
Penghapusan pengurangan pajak untuk pendapatan rendah dan menengah (LMITO), yang sering disebut sebagai ‘lamington’, diidentifikasi sebagai faktor utama di balik peningkatan beban pajak bagi warga Australia. Pengurangan pajak ini sebelumnya memberikan potongan hingga 1500 dollar AS bagi pekerja dengan penghasilan di bawah 126 ribu dollar AS. Sayangnya, insentif tersebut berakhir pada akhir tahun fiskal 2021–2022 oleh pemerintahan Perdana Menteri Anthony Albanese saat ini dan juga pemerintahan sebelumnya di bawah Scott Morrison.
“Penghapusan ‘lamington’ menjadi alasan utama keluhan banyak warga Australia yang merasa pengembalian pajak mereka lebih rendah dari yang diharapkan pada tahun 2023. Bersama dengan upah yang relatif stagnan, penghapusan ini menjadi pendorong utama tarif pajak yang lebih tinggi,” ucap OECD.
Selain itu, kenaikan tarif pajak tahun lalu telah meningkatkan tarif pajak rata-rata di Australia menjadi 24,9 persen dari pendapatan kotor, jauh melampaui rata-rata OECD sebesar 15,4 persen. Namun, jika dilihat dari tax wedge secara keseluruhan—yang mencakup PPh ditambah kontribusi keamanan sosial dari pemberi kerja dan pekerja, dikurangi manfaat tunai—Australia masih berada di bawah rata-rata OECD sebesar 34,8 persen, dengan angka 29,2 persen.
Meskipun banyak negara mengalami penurunan tarif pajak pada tahun 2023, termasuk Amerika Serikat, Meksiko, dan Belanda, warga Australia akan merasakan penurunan mulai 1 Juli, ketika pemotongan pajak tahap tiga mulai berlaku. Pemotongan ini akan memberikan tarif pajak yang lebih rendah bagi semua Wajib Pajak, dengan sebagian besar manfaat diarahkan kepada mereka yang berpenghasilan rendah dan menengah.
Selanjutnya, laporan itu juga mencakup fitur khusus yang meneliti perbedaan beban pajak antara penghasil pertama dan kedua. OECD menemukan bahwa penghasil kedua dalam pasangan menikah, yang lebih dari 75 persen di antaranya adalah wanita di hampir semua negara OECD, menghadapi tarif pajak efektif yang lebih tinggi daripada pekerja lajang ketika mereka mulai bekerja pada tingkat upah yang sama di sebagian besar negara OECD.
Secara rata-rata di OECD, penghasil kedua dalam pasangan tanpa anak yang mulai bekerja pada 67 persen dari upah rata-rata menghadapi beban pajak sebesar 34,0 persen, dibandingkan dengan 31,0 persen untuk pekerja lajang yang mendapatkan 67 persen dari upah rata-rata.
“Negara-negara yang menerapkan perpajakan pada tingkat rumah tangga, atau yang memiliki sistem perpajakan individu tetapi mempertimbangkan keringanan pajak berdasarkan rumah tangga, cenderung memberikan disinsentif fiskal yang lebih besar bagi penghasil kedua,” ujar OECD.