Senin, 11 Jul 2022 13:30 WIB

https://news.detik.com/kolom/d-6173192/implikasi-nik-menjadi-npwp

Jakarta – Sesuai konfirmasi Dirjen Pajak, mulai 2023 Nomor Induk Kependudukan (NIK) menjadi NPWP. Karenanya dapat dipastikan jumlah Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) akan bertambah, dan demikian juga jumlah data kepemilikan harta. Data kepemilikan harta dari pihak ketiga, seperti ILAP (instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain) yang semula berbasis NPWP menjadi berbasis NIK, sehingga harta yang semula tidak ada menjadi ada karena ada NIK-nya.

Bagaimana dampak perubahan tersebut bagi peserta dan non peserta Program Pengungkapan Sukarela (PPS), juga bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)?

AEOI, ILAP, dan LHKPN

Menjelang berakhir pada 30 Juni lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) semakin mengintensifkan imbauan kepada wajib pajak (WP) untuk ikut PPS. Dalam surat imbauannya, DJP menyampaikan perbandingan data harta WP antara data harta berdasarkan SPT dengan data internal DJP, automatic exchange of information (AEOI), dan/atau ILAP, bahkan Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN).

Data ILAP berasal dari instansi, lembaga, asosiasi dan pihak lain merujuk ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31 Tahun 2012 dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 228 Tahun 2017. Berdasarkan PP dan PMK tersebut, terdapat 69 ILAP yang wajib menyetorkan data terkait perpajakan kepada DJP. Sebagai contoh adalah Bank Indonesia (BI), yang menyampaikan informasi tentang debitur, meliputi identitas debitur, agunan/penjamin, termasuk laporan keuangan debitur.

Data debitur dimaksud tidak semuanya ada data NPWP, namun dapat dipastikan ada data NIK-nya. Demikian juga untuk data lain, seperti transaksi pembelian kendaraan bermotor secara tunai, tidak selalu menyertakan NPWP, namun menyertakan NIK. Oleh karena itu, data kepemilikan harta yang disampaikan ke DJP dapat dipastikan akan bertambah, seiring dengan pemberlakuan NIK menjadi NPWP.

Implikasi

Pemberlakuan NIK menjadi NPWP didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), bahwa Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk Indonesia menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK). Pemberlakuan ketentuan ini ditujukan dalam rangka penyederhanaan dan kemudahan wajib pajak, serta berlaku mulai 2023.

Berlakunya NIK sebagai NPWP berimplikasi pada data dari AEOI dan ILAP ke DJP berbasis NIK. Hal ini mengakibatkan, selain data kepemilikan harta bertambah, juga data per wajib pajak akan semakin detil dan lengkap, termasuk data pelepasan harta. Berikut implikasinya bagi peserta PPS dan non peserta PPS serta DJP.

Bagi peserta PPS, sesuai Pasal 11 ayat (2) Bab V UU HPP, jika terdapat harta yang belum dilaporkan oleh peserta PPS, maka dikenakan PPh Final sebesar 30% dari harta yang belum dilaporkan. Pada dasarnya, fasilitas bagi peserta PPS adalah perlindungan data. Data yang ada dalam SPPH, tidak dapat dijadikan dasar penyelidikan, penyidikan dan atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.

Selain itu, peserta PPS tidak dilakukan pemeriksaan atas kewajiban perpajakan PPh Orang Pribadi sampai Tahun Pajak 2020, kecuali apabila terdapat pajak yang sudah dipotong atau dipungut tetapi tidak disetorkan. Namun demikian, atas harta yang belum dilaporkan, dapat dikenakan PPh Final dengan tarif 30%.

Bagi non peserta PPS, data kepemilikan harta yang belum dilaporkan dalam SPT merupakan penghasilan yang belum dilaporkan, hal ini merujuk ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf p Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Bahwa harta dimaksud menambah kemampuan ekonomis, dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan.

Adanya data kepemilikan harta yang belum dilaporkan dalam SPT dan merupakan penghasilan, maka dapat diartikan terdapat kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi oleh wajib pajak, yakni melaporkan SPT dengan benar dan lengkap. Lebih lanjut, terhadap SPT tersebut, dapat dilakukan pemeriksaan dalam rangka pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, sebagaimana ketentuan Pasal 29 UU KUP.

Merujuk uraian tersebut di atas, maka terhadap wajib pajak yang tidak ikut PPS namun terdapat data kepemilikan harta tahun 2020 berdasarkan NIK pada tahun 2023, dapat dilakukan pemeriksaan. Hal ini merujuk ketentuan Pasal 13 UU KUP, bahwa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar.

Adapun bagi DJP, adanya data kepemilikan harta yang belum dilaporkan dalam SPT atau Surat Pemberitahuan Harta (SPH), dapat dijadikan dasar penelitian atau pemeriksaan. Atas harta yang belum dilaporkan dalam SPH pada saat ikut PPS, dapat diterbitkan SKP untuk menagih PPh Final sebesar 30%.

Adapun kepada non peserta PPS, dapat dilakukan pemeriksaan. Pemeriksaan dimaksud untuk menguji, apakah harta yang belum dilaporkan dalam SPT berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak atau tidak. Apabila harta dimaksud terbukti berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak, maka dapat diartikan terdapat penghasilan yang belum laporkan dan harus dihitung ulang pajak yang seharusnya terutang, kemudian dikurangi kredit pajak yang sudah dibayarkan, dan diterbitkan SKPKB guna menagih pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Apabila harta wajib pajak terbukti belum dilaporkan dalam SPH pada saat mengikuti PPS atau belum di laporkan dalam SPT bagi non peserta PPS, dan DJP tidak melakukan penelitian dan / atau pemeriksaan pajak, maka terdapat potensial loss atau kerugian potensi atas penerimaan PPh.

Kesimpulan

Pemberlakuan NIK menjadi NPWP pada 2023 akan menyebabkan jumlah data kepemilikan harta bertambah. Penambahan data kepemilikan harta yang baru terungkap pada 2023 seiring penerapan NIK sebagai NPWP,berdampak pada peserta PPS, non peserta PS dan DJP. Bagi peserta PPS, jika terdapat harta yang belum dilaporkan oleh peserta PPS, maka dikenakan PPh Final sebesar 30% dari harta yang belum dilaporkan.

Bagi non peserta PPS, data kepemilikan harta yang belum dilaporkan dalam SPT maupun merupakan penghasilan yang belum dilaporkan. Adapun bagi DJP, adanya data kepemilikan harta yang belum dilaporkan dalam SPT atau Surat Pemberitahuan Harta (SPH), dapat dijadikan dasar penelitian atau pemeriksaan dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Apabila harta wajib pajak terbukti berasal dari penghasilan yang belum dikenai pajaknya dan DJP tidak melakukan penelitian dan / atau pemeriksaan pajak, maka terdapat potensial loss atas penerimaan PPh.

Edi Purwanto pegawai Direktorat Jenderal Pajak; tulisan ini pendapat pribadi