Kamis, 21 Januari 2021 / 06:38 WIB
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210119211201-532-595892/nasib-ekonomi-ri-usai-biden-dilantik-jadi-presiden-as
Jakarta, CNN Indonesia — Joe Biden resmi dilantik menjadi Presiden Negeri Paman Sam ke-46 pada Rabu (20/1) waktu setempat, menggantikan Donald Trump. Dengan pergantian presiden baru tentu kebijakan pun akan berganti.
Ekonom UI Fithra Faisal Hastiadi memperkirakan pergantian kepemimpinan AS ini akan berdampak positif bagi Indonesia. Ini bisa dilihat dari rencana kerja Biden, baik selama kampanye ataupun kala menyusun strategi menjelang masuk ke Gedung Putih.
Salah satunya, berkaitan dengan rencana menggelontorkan paket stimulus sebesar US$1,9 triliun demi membantu Negara Bagian AS untuk bertahan dan pulih dari dampak pandemi corona.
Belajar dari krisis sebelumnya pada 2008 silam, Fitra menyebut stimulus memiliki efek rembesan (spillover) ke negara berkembang, tak terkecuali Indonesia.
Pasalnya, stimulus akan memicu kepercayaan pasar akan perbaikan fundamental AS. Imbasnya, taipan AS atau 20 persen orang terkaya mereka bakal mulai menyuntikkan dananya di pasar berkembang.
Sebetulnya, para investor raksasa ini tak kekurangan modal. Malah, mereka kecipratan pertumbuhan pasar modal AS yang naik pesat selama pandemi covid-19.
Tapi, dana tidak dikeluarkan karena mereka menunggu kebijakan pemerintah AS.
Dengan dikeluarkannya stimulus, ini akan menjadi ‘alasan’ para taipan mulai yakin menanamkan modalnya.
“Stimulus tidak hanya positif di AS tapi pada akhirnya membuat market confident, sehingga membuat orang-orang yang memiliki modal kemudian masuk ke emerging market,” ujar Fithra kepada CNNIndonesia.com, Selasa (19/1).
Fithra tak menyangkal kalau selama Trump menjabat, Indonesia kerap diuntungkan. Misalnya, saat AS melancarkan perang dagangnya dengan China.
Perang membuat Indonesia mendapat limpahan dari relokasi pabrik AS yang minggat dari Negeri Tirai Bambu.
Tapi, keuntungan yang didapat tidak signifikan. Pasalnya, Indonesia tidak seagresif Vietnam yang berhasil menggaet investasi.
Dengan tahun pemulihan dari pandemi, ia menilai RI akan lebih diuntungkan dengan kepemimpinan yang memberikan kepastian, bukan gejolak.
Meski tak sekonkret Trump, namun Fithra menilai Biden juga tertarik bekerja sama dengan Indonesia. AS, menurut dia, tidak akan mau kehilangan pengaruhnya di Indonesia.
Apalagi melihat besarnya investasi dari rivalnya, China, yang masuk dalam 3 besar investor terbesar di Indonesia.
“Di saat ini yang dibutuhkan adalah kepastian, bukan gejolak karena bagaimanapun meski ada dampak positifnya tapi selama trade war yang bisa menangkap peluang terbesar justru Vietnam, bukan kita,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Fithra membaca maksud Kepala Negara yang ingin ‘mendekatkan’ diri dengan AS. Ini dilakukan dengan menunjuk Muhammad Lutfi sebagai Menteri Perdagangan.
Fithra menyebut Lutfi yang sempat menjadi Duta Besar AS paham dengan cara kerja AS. Dia akan lebih piawai dalam melobi pemerintahan Biden untuk kepentingan RI.
Pasalnya, melobi Biden yang notabene adalah orang Demokrat tak semudah melobi Trump yang cenderung menyetujui kesepakatan jika kedua negara diuntungkan.
Melobi Biden harus melalui kesepakatan yang lebih formal yakni melalui pendekatan regional. Ia menilai ini akan menjadi tantangan pemerintah Indonesia ke depannya.
“Terkait melobi, pemerintahan Biden tidak akan jauh beda dengan Obama, mereka satu paket. Biden akan melakukan pendekatan sama yaitu pendekatan regional. Jadi kalau mau ikutan lobi, harus dalam partai besar,” lanjutnya.
Sementara, Ekonom Senior Faisal Basri menilai kemenangan Biden tak akan lebih menguntungkan Indonesia. Dia menyebut Biden memiliki kebijakan fiskal dan moneter yang berlawanan dengan Trump.
Faisal menyebut Trump yang senang mencetak uang untuk pembiayaan anggaran negara menguntungkan RI karena saat dolar AS melemah, rupiah terdongkrak tanpa harus memeras keringat.
Ini berbeda dengan kebijakan Demokrat yang lebih berorientasi jangka panjang.
“Partai Republik kerjanya stimulus, cetak uang sehingga dolar AS merosot dan rupiah menguat tanpa usaha,” katanya pada Diskusi Online beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut, ia menyebut Demokrat terkenal lebih ‘ribet’ dalam persyaratan bisnis bilateral. Menurut dia itu karena dalam menjalin hubungan bilateral, Demokrat kerap memasukkan isu kemanusiaan (human rights) dan energi terbarukan.
Ini jauh berbeda dengan Trump yang tak memusingkan hal-hal tersebut dan cenderung menekankan keuntungan bisnis semata.
Alasan lain yang membuat kemenangan Biden ‘merugikan’ RI, kata Faisal, adalah kehati-hatian Demokrat dalam menahan defisit fiskal.
Dalam pembiayaannya, Biden akan menaikkan pajak orang kaya yang akan berdampak positif bagi perekonomian Negeri Paman Sam.
Sedangkan, selama Trump menjabat 4 tahun terakhir, pemerintahan AS cenderung menggelontorkan dana stimulus raksasa demi memastikan bisnis-bisnis besar dapat bertahan.
“Saya enggak suka jawabannya, kalau Trump (menang) lebih menguntungkan untuk Indonesia,” tutupnya.