25/03/2024

Source: https://www.pajak.com/pajak/keuntungan-memadankan-nik-dan-npwp-bagi-wajib-pajak/

Pajak.com, Jakarta – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan beberapa pemerintah daerah (pemda) tengah masif berkolaborasi mengingatkan masyarakat untuk segera memadankan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebelum 1 Juli 2024. Tax Compliance & Audit Supervisor TaxPrime Rengga Aditya Prawira meyakini pemadananan NIK dan NPWP akan menguntungkan bagi Wajib Pajak.

Rengga menyebutkan, kewajiban pengintegrasian kedua nomor identitas ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PMK Nomor 112/PMK.03/2022 tentang NPWP Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah. PMK tersebut menetapkan penggunaan NIK sebagai NPWP mulai berlaku 1 Juli 2024.

Selain itu, integrasi NIK dan NPWP juga merupakan upaya Pemerintah Indonesia dalam mengimplementasikan kebijakan Satu Data yang dituangkan dalam MoU antara DJP dan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Ditjen Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

“PMK Nomor 136 Tahun 2023 mengubah aturan sebelumnya yang menetapkan NIK sebagai NPWP mulai 1 Januari 2024. Pengimplementasian yang diundur ini barangkali karena belum sepenuhnya Wajib Pajak memadankan NPWP dan NIK. Saya menganalisis, adanya faktor ketidaktahuan masyarakat mengenai keuntungan apa yang didapatkan kalau memadankan NPWP dan NIK. Padahalpemadanan NIK sebagai NPWP ini bukan hanya sekadar aturan saja, ada keuntungan dan manfaat langsung dari pengintegrasian dua kartu tersebut. Untuk Wajib Pajak orang pribadi itu meningkatkan efisiensi proses administrasinya—jadi lebih cepat dan akurat. Contohnya, kalau kita mau buka buku rekening (bank) atau membeli rumah, kendaraan, berinvestasi (saham, reksa dana, obligasi), pasti kita diminta NPWP. Berarti dengan berlakunya NIK sebagai NPWP, tidak perlu lagi menyiapkan NPWP—cukup memberikan KTP (Kartu Tanda Penduduk) atau NIK saja,” ungkap Rengga kepada Pajak.com, di Kantor TaxPrime Menara Kuningan, Jakarta, (22/3).

Dengan memadankan NIK dan NPWP, Wajib Pajak juga akan lebih mudah memanfaatkan layanan perpajakan secara on-line, diantaranya akses pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan lewat aplikasi (e-Filing atau e-Form), layanan pembuatan faktur pajak (e-Faktur), dan lain sebagainya. Secara berkelanjutan, NIK pun digunakan sebagai akses Wajib Pajak memanfaatkan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Coretax Administration System (CTAS)/core tax. 

“Keuntungan menunaikan kewajiban perpajakan secara on-line itu banyak sekali, Wajib Pajak sudah enggak perlu lagi ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) untuk melaporkan SPT tahunannya. Dulu, kita harus antre panjang, berjam-jam, bahkan seharian untuk melaporkan SPT tahunan. Kalau Wajib Pajak enggak memadankan NIK dan NPWP, Wajib Pajak enggak bisa mengakses layanan kemudahan itu. Karena untuk log in, perlu NIK,” ujar Rengga.

Kemudian, pengintegrasian NIK dan NPWP juga membantu mengurangi risiko penyalahgunaan identitas. Cukup dengan NIK, otoritas perpajakan sudah dapat terhubung dengan data fiskal perpajakan Wajib Pajak. Proses ini berimplikasi pada peningkatan kepatuhan yang bermuara pada minimalisasi pemeriksaan pajak.

“Peningkatan kepatuhan pajak terkait dengan penggalian potensi dan data perpajakan yang semakin kredibel. Contoh, Wajib Pajak orang pribadi yang baru berusia 18 tahun, walaupun sudah otomatis mempunyai NPWP karena terhubung NIK. Tetapi sebenarnya untuk umur 18 tahun itu (umumnya) belum mempunyai penghasilan, jadi DJP bisa memetakan dengan lebih jelas—mana Wajib Pajak yang belum berpenghasilan dan mana yang sudah berpenghasilan, sehingga ada rasio kepatuhan perpajakan dapat terukur dan tepat sasaran,” ungkap Rengga.

Menurutnya, data konkret tersebut bisa menjadi acuan bagi DJP untuk memfokuskan pengawasan kepada Wajib Pajak yang memiliki pendapatan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Rengga menyebutkan, UU HPP telah menegaskan bahwa bila pemilik NIK yang berpenghasilan kurang dari Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun, maka tidak akan dikenakan pajak. Masyarakat dengan penghasilan ini masuk kategori penghasilan tidak kena pajak (PTKP).

Dalam UU HPP, Penghasilan Kena Pajak (PKP), yaitu lapis penghasilan sampai dengan Rp 60 juta (dikenakan Pajak Penghasilan/PPh) 5 persen, di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta (PPh 15 persen), di atas Rp 250 juta sampai dengan Rp 500 juta (PPh 25 persen), di atas Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar (PPh 30 persen), dan di atas Rp 5 miliar (PPh 35 persen).

“Jadi, jangan khawatir. DJP tidak mengenakan pajak bagi pelajar, mahasiswa, atau pekerja yang penghasilannya di bawah PTKP. Pengintegrasian NIK dan NPWP harus dipahami sebagai kemudahan bagi Wajib Pajak, bukan serta-merta dalam rangka DJP memajaki seluruh masyarakat,” tegas Rengga.