30/10/2023
Sumber : https://www.pajak.com/pajak/brin-pajak-karbon-ke-perusahaan-kendaraan-dan-ekspor-batu-bara-jadi-prioritas/

Jakarta – Peneliti Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler (PR EPS) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Deden Djoenudin menyarankan agar pajak karbon diprioritaskan untuk diterapkan ke perusahaan kendaraan bermotor (ber-bahan bakar minyak/bbm), ekspor batu bara, atau industri lain yang berpolusi udara. Secara simultan, pemerintah perlu memberikan insentif bagi usaha yang menurunkan polusi udara di perkotaan dan perdesaan.

“Pajak karbon menjadi menarik, karena awalnya akan diimplementasikan di April 2022, namun kemudian ditunda sampai Juli 2022, yang kemudian ditunda lagi sampai sekarang. Nah, yang menjadi tantangan dan kesiapan infrastruktur adalah penerapan pajak karbon itu sendiri. Padahal kita memahami bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan, negara yang rentan terhadap perubahan iklim, seperti sekarang dengan adanya El Nino yang berkepanjangan. Optimalisasi ruang terbuka hijau juga menjadi sebuah keniscayaan untuk udara yang segar dan sehat bagi penduduk,” jelas Deden dalam keterangan tertulis yang diterima Pajak.com, (30/10).

Ia mengatakan, berkaca dari berbagai pengalaman negara-negara yang sudah mengimplementasikannya, pajak karbon berfungsi efektif dalam menurunkan tingkat emisi gas rumah kaca sekaligus mampu mendatangkan manfaat ekonomi.

‘’Di samping mendapatkan kualitas lingkungan yang lebih baik, negara memperoleh pendanaan lingkungan hidup. Sehingga ada alokasi dana untuk menunjang kegiatan dalam upaya memperbaiki kualitas lingkungan,” ungkap Deden.

Ia menyimpulkan, pajak karbon memiliki beberapa tujuan utama, yakni sebagai instrumen untuk mengubah perilaku dari pelaku ekonomi untuk beralih kepada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon, mendukung penurunan emisi, serta mendorong inovasi dan investasi.

“Maka, diharapkan perusahaan pelaku ekonomi akan bisa menyesuaikan teknologi yang diterapkannya selama ini. Jika semula menghasilkan emisi yang tinggi, maka dengan adanya pajak, perusahaan tersebut menyesuaikan teknologinya. Sehingga proses produksi yang digunakan bisa menjadi rendah emisi karbon,” tambah Deden.

Kendati demikian, penerapan pajak karbon perlu memerhatikan tiga hal inti. Pertama, pajak karbon harus adil. Artinya, menggunakan prinsip polluters-pay-principle—yang melakukan pencemaran yang harus menanggung beban pajak karbon. Sehingga tidak dibebankan kepada pelaku ekonomi yang memang tidak melakukan emisi. Kedua, terjangkau, yakni memerhatikan aspek keterjangkauan demi kepentingan masyarakat luas.

Ketiga, bertahap. Pajak karbon perlu memastikan kesiapan sektor agar tidak memberatkan masyarakat. Maka ada prioritas sektor-sektor yang diutamakan untuk menjalankan penerapan pajak karbon, seperti perusahaan ekspor batu bara, kendaraan bermotor, atau industri lain yang berpolusi udara.

Pada kesempatan yang sama, Kepala PR Kependudukan BRIN Nawawi juga mengakui pengenaan pajak karbon sejatinya wacana yang sudah sangat lama.

“Sudah setahun lalu (rencana) pajak karbon ditetapkan, akan tetapi sampai saat ini memang masih tarik-ulur. Karena memang ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Barangkali juga masyarakat masih banyak yang belum paham,” ungkap Namawi.