Oleh; Toto, S.E., M.H., BKP.

Dikutip dari Tesis tentang Peranan Konsultan Pajak di Indonesia dalam rangka menunjang Penerimaan Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana. Toto, 2016

Daniel Alexander Loen dan Adrianus Meliala dalam tulisan bukunya tentang mengintip kiprah konsultaan pajak di Indonesia, konsultan pajak sebagai sebuah profesi telah hadir sekitar tahun 1960-an.[1] Y. Sri Pudyatmoko, dalam tulisan bukunya tentang Pengadilan dan Penyelesaian Sengketa dibidang Pajak, Pengaturan mengenai konsultan pajak mulai diperkenalkan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983, dimana pada waktu itu sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk melakukan tax reform atau Pembaruan Perpajakan Nasional I.

Sebelum dilaksanakannya tax reform, Indonesia saat itu masih menggunakan official assessment system sebagai sistem pemungutan pajak. Pada sistem ini besaran pajak ditentukan oleh fiskus.[2] Dengan kata lain fiskus harus mendatangi setiap Wajib Pajak guna melakukan penghitungan dan pemungutan pajak. Dengan kondisi demikian jelas membuat mereka membutuhkan bantuan berbagai pihak untuk menjangkau Wajib Pajak. Saat itu penerimaan dari sektor pajak dapat dikatakan tidak maksimal. Banyaknya anggota masyarakat yang tidak mau membayar pajak diduga menjadi pangkal permasalahannya.[3] Untuk itulah dalam rangka menjaring Wajib Pajak, pemerintah mengeluarkan pengampunan bagi mereka yang tidak membayar pajak bila meraka mau memenuhi kewajiban perpajaknnya. Diharapkan dengan adanya pengampunan ini, para subjek pajak tersebut membuka secara jujur apa saja yang menjadi sumber perekonomiannya.

Transformasi sistem pemungutan dari official assessment system kepada self assessment sytem turut memegang peranan tersendiri bagi pertumbuhan konsultan pajak. Namun walaupun peran konsultan pajak mulai diakui didalam Undang-Undang perpajakan, peran dan lingkup profesinya masih belum jelas. Pembaruan Perpajakan Nasional I yang mencetuskan sistem pemungutan self assesment dirasakan bermanfaat besar dalam meningkatkan pemasukan keuangan negara dari luar sektor minyak dan gas bumi. Tetapi disadari pula sistem pemungutan self assesment menjadi kelemahan dalam Pembaruan Perpajakan Nasional I. Menyadari hal tersebut, pemerintah mencoba  dan melihat kembali kebijakan di sektor pajak, dengan mengajukan Pembaruan Perpajakan Nasional II pada tahun 1994.[4] Berbeda dengan Pembaruan Perpajakan Nasional I, pembaruan dalam kebijakan kali ini bukan merupakan kebijakan yang merombak sistem perpajakan yang sampai ke akar-akarnya, pembaruan kali ini hanya membaharaui sebagian ketentuan yang ada dalam Pembaruan Pajak Nasional I.

Hingga Pembaruan Pajak yang terakhir dengan dirubahnya Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan dengan Nomor 28 pada tahun 2007, pertanyaan mengenai lingkup dan peran konsultan pajak masih tidak secara jelas terjawab dan dinyatakan dalam Undang-Undang. Aturan yang merinci tentang peranan konsultan pajak sebagai kuasa baru ada di tahun 2003, itupun hanya melalui Keputusan Menteri Keuangan.

Mengingat peran konsultan pajak merupakan bagian dari perwujudan hukum pajak yang juga bagian dari hukum publik dan dapat mempengaruhi baik secara langsung ataupun tidak langsung proses penerimaan negara melalui pengumpulan pajak dari wajib pajak, maka perlu adanya kepastian hukum dalam implentasi praktik konsultan pajak dan sesuai dengan teori legislasi pengaturan tersebut diwujudkan dalam bentuk undang-undang tentang konsultan pajak.

Konsultan pajak diposisikan sebagai pihak yang independen yang tercermin melalui sistem pengaturan konsultan pajak, sehingga direktorat jenderal pajak sebaiknya tidak mengatur secara teknis keberadaan dan kegiatan konsultan pajak. Aturan teknis tentang profesi konsultan pajak diatur sekaligus melalui kode etik profesi konsultan pajak yang merujuk kepada undang-undang.

Salam.

[1] Alexander Loen dan Meliala, mengintip kiprah konsultan pajak di Indonesia., hlm.26,

[2] Mardiasmo, op., cit., hlm.9.

[3] Alexander Loen dan Meliala,op. cit., hlm.26

[4] Pudyatmoko, op. cit., hlm. 21