23/02/2024
Source: https://www.pajak.com/pajak/tantangan-dan-solusi-optimalisasi-rasio-pajak-daerah/
Pajak.com, Jakarta – Senior Advisor TaxPrime Machfud Sidik mengemukakan sejumlah tantangan dalam upaya menggenjot rasio pajak daerah (local tax ratio) yang hingga saat ini masih berkutat di angka 1,3 persen terhadap produk domestik regional bruto (PDRB). Menurut Dirjen Pajak era Presiden Abdurrahman Wahid itu, salah satu tantangan utama yang bikin mandek optimalisasi rasio pajak daerah adalah pengambilan kebijakan perpajakan daerah yang seharusnya dilandasi pada research base yang kuat sebagai produk teknokratis, ternyata harus dikombinasikan dengan keputusan politik yang pragmatis.
Kebijakan yang terlalu diwarnai oleh agenda politik berimbas pada berbagai regulasi pajak daerah yang bias pada agenda politik yang bernuansa populis, kurang didukung basis data yang kuat dan research base yang komprehensif. Salah satu contoh kecil adalah keengganan Kepala Daerah menyesuaikan NJOP PBB-P2 menjelang Pilkada atau sebuah hajatan politik. Jadi, menurutnya, untuk mengoptimalkan penerimaan pajak daerah, maka dibutuhkan pihak yang tak tersandera oleh kepentingan politik dan berani mengimplementasikan pengenaan pajak daerah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan didasarkan pada kajian yang bersifat teknokratis.
“Tidak selalu suatu kebijakan apalagi bidang perpajakan daerah itu berdasarkan database dan kajian teknokratis yang kuat. Ada beberapa pemerintah kabupaten/kota yang justru tidak mau menaikkan PBB-P2 sesuai dengan NJOP yang mencerminkan perkembangan pasar properti, apalagi dekat-dekat Pilkada,” kata Machfud Sidik kepada Pajak.com dalam sebuah wawancara di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, Jakarta, (22/2).
Untuk mengantisipasi hal-hal seperti ini, Machfud mengatakan perlu ada regulasi yang mengatur sanksi tegas kepada pejabat daerah yang mempermainkan peraturan pajak daerah untuk kepentingan yang bersifat populis dan bernuansa politik. Sebaliknya, mereka yang bekerja sungguh-sungguh mesti diberi penghargaan. Sejauh ini belum ada peraturan yang mengatur hal tersebut secara spesifik.
“(Harus) ada insentif dan disinsentif,” tuturnya.
Selain tersandera oleh kepentingan politik, imbuhnya, hal lain yang membuat rasio pajak daerah jalan di tempat adalah perilaku pejabat pemerintah daerah yang kurang inovatif. Selain itu, pemerintah daerah masih kurang inisiatif untuk belajar dari daerah-daerah yang sukses mengelola PAD termasuk lesson learned dari berbagai negara yang sukses dalam menggali sumber-sumber pajak daerah. Tak hanya itu, pemerintah pusat dirasakan kurang memberikan pedoman administrasi perpajakan daerah yang baik, inovatif, dan komprehensif.
“Bagaimana jenis pajak daerah itu dikelola secara baik? Iya harus mengikuti teori, mengikuti praktik-praktik terbaik baik dari pemerintah kabupaten/kota yang berhasil maupun best practice secara internasional,” tuturnya.
Machfud Sidik melanjutkan, faktor lain yang menghambat optimalisasi rasio pajak daerah adalah pendataan basis pajak yang masih tumpang tindih. Pendataan tidak akurat tersebut membuat potensi pajak yang ada menjadi tidak terdeteksi dan tak diketahui secara pasti. Hal tersebut memberi kesempatan kepada Wajib Pajak yang kurang patuh untuk melakukan penghindaran pemenuhan kewajiban perpajakannya.
“Nah, sekarang di daerah. Kalau kita ingin lihat, bahasa sederhananya tax gap, pajak daerah. Katakan PBB-P2, BPHTB, PBJT (Pajak Barang dan Jasa Tertentu) obyek jasa perhotelan, restoran, itu berapa potensinya? Secara teori, berapa potensi yang ada? Misalnya seorang Wajib Pajak berdasarkan Dasar Pengenaan Pajak, seharusnya, yang bersangkutan membayar Rp 10 miliar. Tetapi dia cuma bayar Rp 2 miliar, under-reporting namanya ya kan?” ujarnya.
Selain faktor-faktor yang disebutkan tadi, Machfud mengatakan perlu ada peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM), pemutakhiran basis data, penyempurnaan sistem administrasi pajak daerah berbasis IT, mengedukasi para Wajib Pajak, serta memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, penundaan pembayaran serta insentif pajak sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, kata dia, semua kebijakan kepala daerah tersebut harus didasarkan kriteria yang jelas dan akuntabel, seperti pemutihan PBB-P2 tidak serta-merta dilakukan oleh semua daerah karena harus dilakukan perhitungan dengan baik dan cermat.
Untuk itu, ia menyarankan agar pemerintah daerah melakukan penguatan basis data yang akurat demi mengetahui tax gap secara lebih akurat. Dengan mengetahui sumber masalah, lanjutnya, pemerintah dapat merumuskan kebijakan PDRD yang lebih mumpuni.
Ia mengingatkan hal tersebut tak mudah dilakukan sebab pemda tak memiliki kewenangan penuh dalam kebijakan PDRD (Pajak Daerah dan Retribusi Daerah). Sejauh ini pemerintah pusat merasa perlu untuk memonitor dan mengendalikan pelaksanaan pemungutan PDRD dengan berbagai pertimbangan.
Padahal, masalah PDRD sudah didesentralisasi sejak tahun 2001 silam. Namun, pemberian kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah itu kurang efektif sampai saat ini, karena porsi pemerintah pusat dalam urusan PDRD terlampau besar, dilain pihak sebagian pemerintah daerah menghadapi keterbatasan dalam tatakelola administrasi PDRD. Dari aspek ini pengembangan kapasitas daerah dalam tata kelola PDRD merupakan hal yang crusial untuk segera diatasi.