Jum’at, 01 Juli 2022 – 22:07 WIB
https://lifestyle.sindonews.com/read/814977/166/studi-pajak-karbon-dan-kesehatan-bisa-pengaruhi-iklim-hingga-tingkatkan-kualitas-pola-makan-1656688051

JAKARTA – Studi terbaru yang diterbitkan Nature mengungkapkan implementasi pajak karbon intensif dan pajak terhadap produk makanan seperti daging dan susu dapat berkontribusi untuk mengurangi sekitar sepertiga residu dari hasil pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) yang diperlukan untuk mencapai komitmen netralitas karbon di Inggris pada tahun 2050.

Residu emisi gas rumah kaca adalah emisi yang dilepaskan ke atmosfer setelah semua kebijakan dan upaya telah dilaksanakan untuk mengurangi emisi GRK secara keseluruhan. Dalam mencapai kesimpulan ini, para akademisi dari berbagai universitas Inggris mengumpulkan survei dari 5.912 peserta.

“Konsumsi produk hewani meningkat secara signifikan di Indonesia dan berbagai kebijakan publik untuk menangani dampaknya harus dipertimbangkan,” kata Among Prakosa selaku Manajer Kebijakan Pangan Indonesia di Sinergia Animal melalui siaran resminya, Jumat (1/7/2022).

“Pedoman pola makan di banyak negara telah menyoroti pentingnya mengadopsi pola makan yang tidak terlalu bergantung pada produk hewani, dengan mengingat darurat iklim dan meningkatnya kasus penyakit kronis terkait dengan pola makan yang tidak sehat. Sudah waktunya bagi pemerintah untuk berbuat lebih banyak mempertimbangkan langkah-langkah baru seperti pajak yang lebih tinggi untuk produk makanan yang merusak lingkungan,” sambungnya.

Adanya klausul pajak karbon di UU No.7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan merefleksikan keseriusan pemerintah Indonesia mewujudkan ekonomi rendah karbon dan ramah lingkungan. Ini juga peluang untuk mendorong sistem pangan berkelanjutan, mengingat Indonesia berada di peringkat kelima global penghasil emisi dari produksi pertanian, dengan emisi dari fermentasi enterik dan kotoran ternak, masing-masing menghasilkan 13 persen dan 14 persen emisi pertanian nasional.

“Tentu saja kita tidak bisa hanya menerapkan pajak dan menaikkan harga pangan lebih tinggi lagi di negara yang sudah bergelut dengan kelaparan, karena krisis ekonomi saat ini, tanpa terlebih dahulu medorong akses lebih luas terhadap produk makanan sehat lainnya. Itulah sebabnya kebijakan yang mensubsidi produksi dan distribusi sayuran, buah-buahan, biji-bijian dan biji-bijian organik skala kecil yang diproduksi merupakan hal yang juga mendesak,” jelas Among.

Produksi makanan saja dapat menyumbang lebih dari 30 persen dari semua emisi GRK secara global, dan makanan berbasis hewani bertanggung jawab atas 57 persen dari semua totalnya. “Untuk mengurangi permintaan produk pangan dari sistem yang tidak berkelanjutan dan juga mencapai tujuan iklim di tahun 2050, kita perlu berinvestasi dalam melakukan transisi ke sistem pangan yang lebih berkelanjutan yang menggunakan lebih sedikit hewan,” jelas Among.

Berdasarkan penelitian terbaru yang diterbitkan oleh University of Bonn, di Jerman, bahwa untuk mencapai tujuan iklim dan mencapai ketahanan pangan global, konsumsi daging harus dikurangi setidaknya 75 persen di banyak negara.

Sementara laporan yang diterbitkan oleh EAT-Lancet Commission, bahwa pola makan yang konsisten dengan tujuan iklim dan nutrisi sebagian besar dihasilkan dari makanan yang berbasis nabati. Institusi tersebut menekankan bahwa walaupun konsumsi makanan global seperti daging merah dan gula harus dikurangi lebih dari 50 persen, konsumsi buah-buahan, kacang-kacangan, sayuran, dan kacang-kacangan harus dilipat gandakan.

“Hal ini merupakan momen kritis bagi masa depan kita, dan sangat penting bagi para pemerintah secara global untuk bertindak secara bertanggung jawab. Namun, kita juga perlu melakukan bagian kita sendiri. Di Indonesia, program tantangan 21 Hari Vegan dari Sinergia Animal dapat mendorong dan membantu mereka yang ingin mengadopsi pola makan berbasis nabati dengan bantuan ahli gizi profesional secara gratis,” tandasnya.