Minggu, 28 Maret 2021 / 08:52 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210328084532-92-622951/saham-nike-dan-adidas-rontok-usai-diboikot-china

Jakarta, CNN Indonesia — Saham produsen alas kaki atau sepatu Nike, Adidas, dan beberapa merek lainnya rontok usai China mem-boikot merek-merek fesyen barat. Saham merosot karena investor khawatir menaruh uang mereka ke perusahaan-perusahaan tersebut.

Mengutip CNN Business, saham Nike turun lebih dari tiga persen pada Kamis (25/3) waktu setempat di Wall Street, sedangkan saham Adidas tenggelam lebih dari enam persen di Frankfurt.

Sementara di London, Inggris, saham Burberry melorot lebih dari empat persen. Saham H&M juga terpantau turun dua persen di Swedia.

Badai politik yang melanda China dipicu oleh postingan di media sosial dari sebuah kelompok yang berkaitan dengan Partai Komunis yang berkuasa.

Akibat dari postingan tersebut, H&M membuat pernyataan bahwa terjadi kerja paksa pada September 2020 lalu di pabrik mereka di Xinjiang, China.

Selain itu, kelompok hak asasi manusia telah berulang kali menuduh Beijing menahan Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainya, di mana mereka dipaksa untuk membuat produk yang dapat masuk ke teknologi global dan rantai pasokan ritel.

Menurut Analis Bernstein Aneesha Sherman, ‘badai’ politik China kemungkinan akan berhenti dan saham H&M diprediksi naik satu persen. Sementara, saham Nike bisa meningkat sekitar 1,5 persen.

China menyumbang sekitar lima persen dari penjualan H&M pada 2019. Sherman memperkirakan angka itu tumbuh sekitar 10 persen pada 2020 karena ekonomi China sudah pulih lebih cepat dari virus corona.

“Dalam tahun seperti ini, bahkan memotong lima persen dari garis atas adalah kesuksesan besar ketika H&M mencoba untuk pulih,” kata Sherman.

Merek-merek perusahaan fashion ternama lain, seperti Burberry bahkan lebih melesat sahamnya karena sifat masyarakat di China yang konsumtif.

Ketegangan Amerika-China masih belum hilang sepeninggalan era Donald Trump.

Setelah Joe Biden menjabat, ketegangan perang dagang kedua negara adidaya tersebut masih terjadi dan hal ini menciptakan tantangan bagi perusahaan Barat yang beroperasi di pasar China.