06/11/2024
Source: https://www.pajak.com/pajak/rencana-kenaikan-ppn-di-2025-ekonom-soroti-sejumlah-tantangan-inflasi-yang-perlu-diantisipasi/
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada 2025 sebagai bagian dari strategi memperkuat penerimaan negara. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky menilai, langkah ini krusial untuk memperkuat kesehatan fiskal Indonesia di tengah kondisi global yang tidak menentu, meskipun ada sejumlah tantangan inflasi yang perlu diantisipasi pemerintah.
“PPN merupakan instrumen yang relatif stabil dalam memberikan kontribusi pada penerimaan negara. Tidak seperti Pajak Penghasilan (PPh) yang lebih rentan terhadap fluktuasi ekonomi, PPN berbasis konsumsi mencakup kegiatan ekonomi yang lebih luas, sehingga lebih tahan terhadap guncangan ekonomi,” jelas Riefky dalam analisis Indonesia Economic Outlook 2025: Secular Stagnation, dikutip Pajak.com, Selasa (5/11).
Ia menambahkan bahwa jangkauan luas PPN memungkinkan pajak ini tetap konsisten memberikan pemasukan, bahkan ketika penerimaan lain, seperti PPh, cenderung melambat karena tantangan ekonomi. Menurut data yang dirangkumnya, PPh dan PPN tetap menjadi dua kontributor utama pendapatan Indonesia, masing-masing menyumbang 28–40 persen dan 17–29 persen dari total penerimaan. Dalam beberapa tahun terakhir, penerimaan PPN menunjukkan tren peningkatan, meskipun beberapa periode sempat mengalami fluktuasi karena dampak dari peristiwa ekonomi global, seperti krisis keuangan 2008 dan pandemi COVID-19.
Riefky juga menyoroti bahwa, meskipun terdapat peningkatan ketergantungan pada PPN sebagai sumber penerimaan utama, rasio PPN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, serta di bawah rata-rata global.
“Ini menunjukkan ada potensi yang belum optimal, dan kenaikan tarif diharapkan bisa membantu meningkatkan stabilitas fiskal,” ujarnya.
Tantangan Inflasi
Namun, Riefky juga memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat berisiko memperburuk tekanan inflasi. Tarif PPN yang lebih tinggi biasanya mengakibatkan kenaikan harga barang dan jasa secara langsung, sehingga meningkatkan biaya hidup secara keseluruhan.
Ia memprediksi efek ini dapat menjadi tantangan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah, yang mungkin mengalami penurunan daya beli, sehingga mengarah pada penurunan pengeluaran dan konsumsi konsumen secara keseluruhan.
“Meskipun masyarakat berpenghasilan rendah membelanjakan sebagian kecil dari pendapatan mereka untuk barang dan jasa yang dikenai pajak, pengalaman terbaru di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan biaya hidup akan sangat membebani rumah tangga ini. Skenario ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial, mendorong lebih banyak orang ke bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok-kelompok rentan,” urainya.
Dampaknya terhadap daya saing juga menjadi perhatian, terutama di sektor-sektor seperti pariwisata. Riefky memprediksi, kenaikan tarif PPN dapat menghalangi pengunjung internasional yang menganggap Indonesia kurang hemat biaya dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang memiliki tarif pajak yang lebih rendah.
“Situasi ini juga dapat memengaruhi investasi asing, karena investor sering mencari daerah dengan lingkungan pajak yang lebih menguntungkan. Selain itu, peningkatan biaya produksi yang terkait dengan PPN yang lebih tinggi dapat mengurangi daya saing ekspor Indonesia di pasar global,” imbuhnya.
Selanjutnya, Riefky juga meminta agar pemerintah mewaspadai tantangan pada implementasi kenaikan PPN. Pasalnya, kebijakan ini dapat menyebabkan peningkatan tax avoidance atau tax evasion, terutama di sektor-sektor yang memiliki tingkat informalitas yang tinggi atau pengawasan yang terbatas.
“Risiko ini mengancam melemahkan tujuan pendapatan pemerintah dan mempersulit upaya penegakan hukum, sehingga berpotensi mengimbangi manfaat yang diharapkan dari kenaikan tarif PPN,” pungkasnya.