Sabtu, 19 Juni 2021 / 09:45 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210618200905-532-656412/pro-kontra-tarif-ppn-multitarif

Jakarta, CNN Indonesia – Rencana kebijakan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) multitarif menuimbukan pro-kontra dimasyarakat. Lantas apa saja keuntungan dan kekurangannya?

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengungkapkan tarif PPN multitarif mungkin terlihat rumit karena pemerintah akan membeda-bedakan tarif pajak untuk setiap barang dan jasa. Dengan begitu, tarif PPN nantinya tidak sama dan tunggal sebesar 10 persen seperti saat ini.

Kendati begitu, menurutnya, skema tarif PPN multitarif ini justru memberikan keuntungan karena lebih adil. Misalnya, untuk barang yang memang dibutuhkan masyarakat luas sehari-hari bisa dibuat rendah, sementara barang yang bernilai premium bisa dipajaki lebih tinggi karena hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas, khususnya orang kaya.

“Di pajak itu berlaku semakin sederhana, itu semakin tidak adil. Tapi kalau mau adil, ya kompleks, ya ini tantangan dari sistem perpajakan, dan kita ingin mengurai kompleksitas, mulai didiskusikan pelan-pelan supaya bisa menjadi lebih baik,” ungkap Yustinus dalam diskusi bertajuk Pajak Sembako: Dekrit atau Intrik? secara virtual, Jumat (18/6).

Ia memberi contoh, misalnya pajak untuk susu formula alias sufor bagi bayi. Seperti diketahui, sufor penting untuk tumbuh-kembang anak karena bisa memenuhi kebutuhan gizi.

“Susu formula sekarang kena 10 persen, padahal itu penting, nanti bisa kita kenakan hanya 5 persen atau 7 persen, itu ruang yang kami sediakan. Lalu popok bayi, pampers, pembalut wanita, itu juga bisa kita turunkan tarifnya,” jelasnya.

Dengan begitu, menurutnya, kebijakan pajak akan lebih adil bagi masyarakat. Sebab, tidak dipukul rata dan memikirkan jenis, klasifikasi, harga, dan segmen penggunanya.

Sementara kontranya, kata Yustinus, hanya berupa sistem pajak yang bakal lebih rumit. Sebab, pengenaan tarif jadi dibeda-bedakan, tidak seragam.

“Memang ini lebih rumit dari yang sekarang, tapi lebih mendekati rasa keadilan daripada saat ini, tarif PPN tunggal 10 persen, tidak membedakan jenis, klasifikasi, harga, dan segmen pembelinya, sehingga orang kaya-miskin membeli barang yang sama, bebannya sama,” tuturnya.

Berbeda dengan Yustinus, Ekonom INDEF Tauhid Ahmad justru melihat bahwa rencana kebijakan PPN multitarif justru lebih banyak kekurangannya daripada keuntungannya.

Pertama, menimbulkan kompleksitas bagi wajib pajak. Pasalnya, dengan tarif pajak yang berbeda-beda, maka pembukuan pajak dan faktur menjadi tidak sederhana.

Hal ini membuat pencatatan atas transaksi jual dan beli juga semakin kompleks. Padahal, wajib pajak harus tetap melaporkan seluruh transaksinya alias self assessment.

“Ini akhirnya menjadi tidak efektif karena di satu sisi saya masuk kelompok yang rendah, tapi untuk bidang lain saya masuk kelompok yang tinggi, itu akhirnya menjadi tidak valid dan membingungkan. Lalu nanti bagaimana dengan sembako impor misalnya, dari segi kode barang dan jenis sama, tapi pajaknya beda-beda,” jelas Tauhid.

Kedua, rencana kebijakan PPN multitarif akan memberi kesulitan pada proses audit pajak. Mulai pada tahap verifikasi persediaan, pembelian, dan penjualan, semua membutuhkan sumber daya manusia dan waktu yang lebih besar karena tarif yang berbeda-beda.

“Jangan-jangan nanti ini akan membuat administrasi jadi lebih sulit dan membutuhkan orang yang lebih banyak,” imbuhnya.

Ketiga, perlakuan berbeda antar kelompok barang akan menimbulkan sengketa pajak dan insentif. Nantinya, akan banyak klasifikasi kelompok barang yang diberikan tarif rendah dan tinggi, baik berdasarkan harga, produk impor, kebutuhan pokok atau tidak, dan lainnya.

Hal ini selanjutnya bisa menimbulkan potensi salah klasifikasi, misalnya apakah itu bahan baku, bahan olahan, atau produk campuran. Keempat, menimbulkan tekanan dan lobi dari industri dan pelaku bisnis.

“Ini bisa saja menimbulkan lobi-lobi bagaimana ya agar produk-produk saya kena PPN hanya 1 persen, maksimal 5 persen, jangan sampai 10 persen, bahkan 12 persen, karena kalau ada konsekuensi kenaikan apalagi dari yang sebelumnya tidak kena, maka harga akan naik, tapi volume yang diperjualbelikan turun, maka pendapatan pengusaha turun,” terangnya.

Implikasinya, sambung Tauhid, nantinya penerimaan PPN justru bisa lebih berkurang dari saat ini. Kelima, akan meningkatkan klaim restitusi karena dulu tidak kena PPN lalu jadi kena tapi tarifnya berbeda-beda.

Di sisi lain, Tauhid juga menilai rencana tarif PPN multitarif tidak besar potensi penerimaannya, sekalipun pemerintah ikut menaikkan tarif pajaknya. Hal ini berkaca pada kondisi tarif pajak tinggi di beberapa negara tetangga di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).

Saat ini, tarif PPN di Indonesia sekitar 10 persen. Dengan besaran tarif ini, pertumbuhan penerimaan PPN di dalam negeri sekitar 3,5 persen.

Sementara Filipina, tarif pajaknya berkisar 12 persen, tapi pertumbuhan penerimaan PPN-nya hanya berkisar 2,1 persen. Padahal, rasio kepatuhan pajak masyarakatnya mencapai 14,5 persen atau lebih tinggi dari Indonesia sekitar 9,8 persen.

Sedangkan Vietnam, tarif pajaknya relatif lebih rendah, sekitar 5-10 persen saja. Namun, pertumbuhan penerimaan PPN-nya mencapai 6,2 persen dengan rasio kepatuhan mencapai 18,6 persen.

“Jadi kenaikan tarif PPN misalnya sampai 12 persen, itu tidak ada jaminan penerimaan negara dari PPN akan meningkat cukup tajam,” pungkasnya.