12/01/2024
Source: https://www.pajak.com/pajak/pengusaha-spa-di-bali-protes-pajak-hiburan-naik-apa-alasannya/
Pajak.com, Bali – Melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), pemerintah pusat menetapkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) menjadi paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen atas jasa hiburan, termasuk spa. Tarif PBJT yang kemudian ditetapkan melalui peraturan daerah ini mulai berlaku efektif sejak tahun ini, atau paling lama dua tahun sejak UU HKPD mulai berlaku pada 5 Januari 2022 lalu. Pengusaha spa di Bali protes pajak hiburan naik, simak alasannya.
“Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40 persen dan paling tinggi 75 persen,” bunyi Pasal 58 UU HKPD, dikutip Pajak.com, Kamis (11/01).
Sementara Pasal 55 memerinci objek PBJT yang masuk dalam pajak hiburan, dikenakan kepada konsumen akhir yang menikmati jasa-jasa tertentu. Jasa-jasa yang termasuk dalam pajak hiburan adalah:
1. Jasa kesenian yang berupa film atau tontonan audio visual yang disajikan secara langsung di suatu tempat, misalnya pertunjukan seni, musik, tari, dan atau busana; kontes binaraga; dan kontes kecantikan;
2. Jasa rekreasi yang meliputi wahana air, wahana ekologi, wahana salju, wahana budaya, wahana pendidikan, wahana pemancingan, wahana permainan, agrowisata, kebun binatang, panti pijat, panti refleksi, karaoke, kelab malam, diskotek, dan mandi uap/spa; dan
3. Jasa hiburan yang tidak dikenakan pajak adalah hiburan yang diselenggarakan tanpa memungut bayaran pada acara pernikahan, upacara adat, kegiatan keagamaan, dan pameran buku.
Dalam pelaksanaannya, skema tarif pajak spa ditetapkan bervariatif di berbagai daerah. Kota Surabaya, misalnya, menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke keluarga ditetapkan sebesar 40 persen. Lalu, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke dewasa, diskotek, kelab malam, bar, panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan sejenisnya ditetapkan sebesar 50 persen.
Di sisi lain, Kabupaten Badung menetapkan tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan sebesar 10 persen; sementara khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40 persen dari sebelumnya 15 persen. Sontak, perubahan tarif ini menuai protes dari pelaku usaha dan asosiasi spa di Bali, yang menganggapnya terlalu tinggi dan memberatkan. Apalagi, kondisi pariwisata di Bali belum pulih benar pascapandemi COVID-19.
Ketua PHRI Badung I Gusti Agung Ngurah Rai Suryawijaya mengklaim, PHRI dan pengusaha spa tidak pernah dilibatkan dalam pembahasan kebijakan pajak hiburan yang baru. Hal senada diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta (Asphija) Hana Suryani yang menilai aturan baru pajak hiburan tidak mengakomodasi kepentingan pengusaha. Ia menambahkan, kondisi bisnis yang baru saja bangkit dari keterpurukan akibat pandemi sangat sulit untuk menyesuaikan diri dengan keputusan ini.
Bahkan, Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Ardana Artha Sukawati menyatakan kalau PHRI Bali dan asosiasi SPA di Bali akan mengajukan uji materi ke MK, menyusul sebuah asosiasi spa di Jakarta yang lebih dulu menggugat pasal 55 ayat 1 dan pasal 58 ayat 2 tentang PBJT. Sebelum mengajukan gugatan ke MK, Cok Ace memastikan kalau PHRI dan pihak-pihak terkait akan melakukan kajian komprehensif agar memiliki landasan yang kuat saat mengajukan uji materi.
“Kami akan lakukan kajian terlebih dahulu nanti bersama BWSA (Bali Spa and Wellness Association) dan Kemenparekraf (Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Target kami di MK agar SPA dikeluarkan dari pasal tersebut, dan tidak disamakan dengan industri hiburan, dikembalikan sebagai destinasi kesehatan,” kata Cok Ace kepada awak media.
Setali tiga uang, Menparekraf Sandiaga Uno memastikan pihaknya akan berkoordinasi untuk terus mendorong industri spa di Bali agar semakin berkembang. Menurutnya, spa adalah perawatan yang menyeimbangkan jiwa dan raga dengan menggunakan metode terapi air, aroma, pijat, rempah-rempah, makanan atau minuman sehat, dan olah aktivitas fisik, sebagaimana tercantum dalam Permenparekraf Nomor 4 Tahun 2021.
“Sehingga, industri spa di Bali adalah bagian dari wellness bukan hiburan. Mereka ini mendapatkan kebugaran, dan kebugarannya itu menggunakan rempah-rempah dan minyak yang diproduksi dengan kearifan budaya lokal setempat,” tegas Sandiaga.
Ia pun mengungkapkan dalam lawatannya ke Dubai, Uni Emirat Arab, beberapa waktu lalu bahwa terapis spa asal Indonesia cukup dikenal dan diminati pasar internasional, karena memiliki reputasi yang baik. Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemayun menambahkan, masuknya spa ke dalam kategori hiburan dapat memengaruhi persepsi publik terhadap bisnis spa dan melihat spa sebagai tempat hiburan semata. Tentu, hal ini dapat memengaruhi citra profesional para terapis.
“Jika spa tidak diintegrasikan secara bijak dengan budaya lokal, ada risiko komidifikasi budaya di mana spa akan dianggap sebagai atraksi tanpa menghargai makna dari konteks yang sebenarnya,” ujar Tjok Bagus.