Rabu, 24 Februari 2021 / 06:46 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210223135132-78-609815/pengamat-sebut-rugi-bpjs-tenaker-beda-dengan-jiwasraya

Jakarta, CNN Indonesia — BPJS Ketenagakerjaan melaporkan terjadi penurunan investasi (unrealized loss) sebesar Rp43 triliun pada Agustus-September 2020. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung menyatakan penyidik masih mendalami dugaan penyimpangan dalam pengelolaan dana investasi tersebut.

Pakar Ekonomi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Roy Sembel menyebut sebelum menyamakan kasus BPJS Ketenagakerjaan dengan kasus salah kelola yang berujung pada korupsi seperti kasus Jiwasraya dan Asabri, ada beberapa hal mendasar yang perlu dibedah.

Salah satunya terkait tujuan investasi. Roy menyebut, dalam setiap pengelolaan dana masyarakat yang jumlahnya besar, dana seharusnya dikelola sesuai dengan tujuannya.

Untuk kasus Jiwasraya, ia menyebut tujuan sudah tidak benar sejak awal yaitu menambal sulam kerugian yang dialami perseroan sejak satu dekade. Sejak 2006 sudah ditemukan ekuitas negatif senilai Rp3,29 triliun.

Kerugian kemudian kian kronis. Demi menutupi kerugian kemudian dana ditempatkan di deretan saham-saham berkualitas rendah atau ‘gorengan’, di samping menjual premi produk JS Saving Plan demi mendapatkan likuiditas baru.

“Gara-gara defisit itu akhirnya dicoba tambal sulam dengan produk yang kaget-kagetan, produk emergency, produk yang lagi terdesak,” katanya pada webinar Infobank bertajuk Pengelolaan Investasi & Potensi Unrealised Loss Pada Lembaga Milik Negara, Selasa (23/2).

Sementara itu, investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan hingga Desember 2020 bersifat prudent dan masih mencatatkan untung atau positif 7,38 persen. Tak seperti Jiwasraya, ia menyebut investasi yang dilakukan BPJS Ketenagakerjaan tidak untuk gali lubang tutup lubang demi mempercantik portofolio investasi.

Jika dilihat, dari total dana yang dikelola per Desember 2020 yakni Rp486,38 triliun, hanya 17 persen di antaranya yang ditempatkan di saham.

Tak seperti kasus Jiwasraya, 98 persen saham yang diinvestasikan merupakan saham-saham LQ45 atau saham berfundamental baik.

Menurut dia, penurunan nilai investasi yang dialami BPJS Ketenagakerjaan wajar terjadi di tengah resesi ekonomi yang melanda. Dalam setiap krisis, pasar modal selalu mengalami koreksi karena kepanikan pasar. Dalam rentang setahun, umumnya, pasar modal sudah kembali ke level normal.

Dalam kasus ini, ia menilai potensi kerugian tersebut murni karena mekanisme ekonomi di luar kemampuan manager investasi yang dipilih BPJS Ketenagakerjaan. Kala resesi ia menyebut tak banyak yang bisa dilakukan manajer investasi selain menunggu nilai saham kembali ke harga sebelum pandemi.

Secara terpisah, Deputi Direktur Bidang Humas dan Antar Lembaga BPJS Ketenagakerjaan Irvansyah Utoh Banja menyebut pada 2020 pihaknya telah mengalihkan mayoritas portofolio pada instrumen fixed income sebesar 74 persen dari total portofolio.

Untuk penempatan alokasi aset sebesar 64 persen dari aset ditempatkan pada instrumen surat utang, kemudian deposito sebesar 10 persen, saham 17 persen, reksadana 8 persen, dan investasi langsung 1 persen.

Eko B Supriyanto, Direktur Biro Riset Infobank, mengatakan dalam membedakan kasus rugi Jiwasraya dan BPJS TK, seharusnya membedakan antara unrealized loss akibat risiko bisnis dan rugi karena kesengajaan yang berujung pada pidana.

Dalam kasus BPJS TK, ia menyebut potensi kerugian berasal dari risiko bisnis yaitu bergejolaknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).

Saat indeks baik-baik saja, ia menyebut BPJS Ketenagakerjaan malah mencetak keuntungan. Hingga Desember 2020, hasil investasi yang diperoleh sebesar Rp32,3 triliun.

“Ada beberapa perbedaan mencolok, pertama saham BPJS TK masuk kategori aset elit. Jika ada yang tidak masuk LQ45 minimal pernah menghuni. Sementara saham Jiwasraya banyak kualitas rendah dan ada dugaan saham gorengan,” ujarnya.

Ia menyayangkan banyaknya pihak yang berkoar-koar menyamakan kasus Jiwasraya dan BPJS Ketenagakerjaan sebelum melihat lebih rinci perbedaan keduanya. Pasalnya, dampaknya sangat merugikan kepada pasar modal.

Eko menyebut anggapan unrealized loss investasi sebagai kerugian negara sempat membuat BPJS Ketenagakerjaan kapok dan berniat hengkang dari pasar modal. Wacana itu kemudian membuat investor khawatir.

Pasalnya, jika BPJS TK keluar dari pasar modal, akan ada sekitar Rp121 triliun dana yang keluar.

“Bayangkan IHSG tanpa BPJS TK, pasti ambrol. Makanya begitu BPJS TK diperiksa hampir pasti begitu ada statement tidak di pasar modal maka pasar pun terus amblek,” katanya.

Selain itu, ia menilai pengawasan yang dilakukan BPJS TK terbilang ketat dan sudah sesuai dengan PP Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.