03/06/2024
Source : 
https://www.cnbcindonesia.com/news/20240530155820-4-542508/pajak-pisah-dari-kemenkeu-tak-jamin-setoran-moncer-mending-cara-ini

Jakarta,  Indonesia – Terus ditundanya penerapan sistem inti administrasi perpajakan atau core tax system di Indonesia, dari yang semula tergendakan diimplementasi Januari 2024 menjadi Juli 2024 hanya akan semakin membuat rasio pajak terhadap PDB di Indonesia tertinggal dibanding negara lain.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia Mari Elka Pangestu mengatakan, dengan penerapan digitalisasi layanan perpajakan serta perbaikan sistem administrasinya sebetulnya bisa menaikkan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 2%.

Sebagaimana diketahui, tax ratio Indonesia pada 2023 hanya sebesar 10,21%, sedikit turun dari catatan pada 2022 yang sebesar 10,39%. Pada 2021, berdasarkan catatan OECD bahkan hanya sebesar 10,1%, menjadikannya salah satu angka yang terendah di antara negara Asia Pasifik.

Padahal, pada 2021, OECD mencatat negara ASEAN dengan tax ratio tertinggi pada 2021 adalah Vietnam yakni 22,7% disusul kemudian Filipina (17,8%), Thailand (16,5%), Singapura (12,8%), dan Malaysia (11,4%). Sementara itu, negara pasifik seperti Vanuatu memiliki tax ratio sebesar 14,2%, Samoa sebesar 25%, dan Maladewa sebesar 19,1%. Negara Asia dengan tax ratio tertinggi adalah Jepang yakni 31,4%.

Dengan demikian, jika dengan perbaikan sistem administrasi perpajakan dan semakin kuatnya ekstensifikasi basis perpajakan di Indonesia hingga meningkatkan tax ratio 2%. Rasio perpajakan Indonesia bisa mencapai 12%, melampaui rasio pajak terhadap PDB di Malaysia yang 2021 saja sudah 11,4%.

“Jadi sistem elektronik plus memperbaiki administrasi pajak menurut berbagai analisa yang saya lihat itu bisa meningkatkan sampai 2% tax to GDP ratio kita, kemudian ekstensifkasi dari tax base ya,” ucap Mari saat ditemui usai acara Seminar Nasional Jesuit Indonesia di Jakarta, Kamis (30/5/2024).

Penerapan perbaikan sistem administrasi perpajakan ini sebetulnya dalam jangka pendek lebih dibutuhkan Indonesia, ketimbang membentuk lembaga baru seperti Badan Penerimaan Negara (BPN) yang rencana akan dibangun oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

Mari mengatakan, ini karena pembentukan lembaga baru membutuhkan waktu yang sangat lama. Dan bila kerjanya tidak fokus untuk memperbaiki sistem administrasi dan ekstensifikasi basis pajak, maka tidak akan signifikan menaikkan penerimaan pajak maupun rasionya.

“Saya punya pengalaman memisahkan perindustrian dan perdagangan, kemudian menggabungkan pariwisata dengan ekonomi kreatif, jadi untuk membangun badan atau lembaga baru dalam birokrasi itu akan memerlukan waktu,” tutur wanita yang juga pernah menjabat sebagai menteri perdagangan serta menteri pariwisata dan ekonomi kreatif RI itu.

Berkaca dari lembaga khusus penerimaan di negara lain, seperti The Internal Revenue Service (IRS) di Amerika Serikat, Mari mengatakan, fokus mereka pun bukan meningkatkan penerimaan negara, melainkan terbatas hanya pada intensifikasi atau meningkatkan kepatuhan membayar pajak.

“Karena kita memahami bahwa sekarang kan ada dua objektif yang jadi KPI (key performance index) petugas pajak yaitu mengejar revenue target, at the same time dia juga harus mengejar compliance. Kalau kita bayangkan IRS di AS dia tugasnya hanya compliance dan tidak diberikan tugas revenue,” ujar Mari.