Rabu, 17 Maret 2021 / 06:25 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210316190324-532-618277/pajak-mobil-listrik-berlawanan-dengan-kebijakan-jokowi

Jakarta, CNN Indonesia — Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako menilai rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani menaikkan tarif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) mobil listrik berlawanan dengan kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti tertuang dalam Perpres 55/2019 mengenai Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai yang merupakan payung hukum kendaraan listrik Indonesia.

“Kebijakan itu bertolak belakang dengan kebijakan negara akan berikan dukungan penuh untuk mobil listrik. Itu Pak Jokowi kan sudah mendukung program mobil listrik kok tiba-tiba ada ini (kenaikan PPnBM), itu yang harus harus dipertanyakan,” terang Ronny kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/3).

Bendahara negara mengusulkan kenaikan PPnBM untuk mobil listrik yang sumber tenaganya tidak sepenuhnya listrik seperti jenis plug-in hybrid electric vehicle (PHEV), full hybrid, dan mild hybrid.

Alasannya, investor merasa aturan pemerintah tidak kompetitif karena tak ada perbedaan antara tarif pajak untuk mobil yang sumber tenaganya 100 persen listrik dan mobil yang sumber tenaganya tidak 100 persen listrik.

Namun, Rony menilai kebijakan itu justru akan merugikan distributor atau penjual mobil jenis PHEV, full hybrid, dan mild hybrid.

Pasalnya, konsumen diprediksi cenderung memilih pembelian mobil listrik yang sumber tenaganya 100 persen listrik atau battery electric vehicle (BEV).

Terlebih, konsumen mobil listrik merupakan kelas ekonomi menengah ke atas yang mampu membeli mobil listrik pada harga tinggi sekalipun.

“Dia mampu beli di harga berapa pun tidak ada masalah, cuma itu tadi yang menjadi korban distributornya, penjualnya karena dia sudah target, misal satu tahun target bisa jual 100, tapi karena ini (PPnBM) naik berarti targetnya turun gara-gara harga naik,” imbuhnya.

Karena itu, ia memperkirakan sejumlah distributor mobil jenis PHEV, full hybrid, dan mild hybrid akan memutar otak guna menarik pelanggan. Caranya, dengan memberikan kemudahan pembayaran secara bertahap alias mencicil.

“Supaya target penjualan tetap jalan,” ucapnya.

Sepakat, Ekonom dari Institut for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai ada kondisi kontraproduktif dalam kebijakan tersebut.

Menurut dia, kenaikan PPnBM pada jenis mobil PHEV, full hybrid, dan mild hybrid justru berpotensi menurunkan minat beli konsumen.

Di sisi lain, Kementerian Keuangan justru memberikan pelonggaran pada PPnBM mobil berbahan bakar fosil.

“Jadi, kontraproduktif ya karena mobil berbahan bakar fosil justru diberi keringanan PPnBM. Kebijakan ini justru akan berdampak pada rendahnya penjualan mobil listrik di dalam negeri,” ungkapnya.

Ia menuturkan negara lain yang lebih dulu mengadopsi mobil listrik melakukan transisi dari mobil berbahan bakar fosil ke mobil berbahan bakar sepenuhnya dari listrik, dijembatani oleh kendaraan hybrid.

Secara paralel, sambung Bhima, pemerintah mendorong ketersediaan infrastruktur pendukungnya. “Kalau langsung transisi ke full EV, tentu harga juga masih mahal dan hanya dinikmati kelas atas,” jelasnya.

Dampak lainnya, lanjut Bhima, adalah potensi berkurangnya minat investasi pada sektor pendukung, seperti stasiun pengisian baterai listrik, pabrik baterai dan komponen mobil listrik. Sebab, investor khawatir minat konsumen akan berkurang lantaran harganya semakin mahal usai kenaikan PPnBM.

Untuk diketahui, rencananya Sri Mulyani akan mengubah sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Tarif PPnBM PHEV naik dari nol persen menjadi 5 persen dalam skema satu dan menjadi 8 persen dalam skema dua. Sementara, tarif PPnBM untuk full hybrid Pasal 26 naik dari 2 persen menjadi 6 persen pada skema satu dan naik menjadi 10 persen pada skema dua.

Tarif PPnBM full hybrid Pasal 27 naik dari 5 persen menjadi 7 persen pada skema satu dan 11 persen pada skema dua. Tarif PPnBM Pasal 28 naik dari 8 persen menjadi 12 persen pada skema dua dan tetap 8 persen pada skema satu.

Selanjutnya, tarif PPnBM untuk mild hybrid Pasal 29 naik dari 8 persen menjadi 12 persen pada skema dua dan tetap 8 persen pada skema satu. Tarif PPnBM mild hybrid Pasal 30 naik dari 10 persen menjadi 13 persen pada skema dua dan tetap 10 persen pada skema satu.

Lalu, Tarif PPnBM mild hybrid Pasal 31 naik dari 12 persen menjadi 14 persen pada skema dua dan tetap 12 persen pada skema satu.