Selasa, 29 September 2020 / 07:25 WIB

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-5192048/nasib-suram-pengusaha-mal-rugi-rp-200-t-gara-gara-psbb?single=1

Jakarta – Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budiharjo Iduansjah membeberkan dampak pembatasan sosial berskala besar (PSBB) terutama di Jakarta yang kembali diperketat dan resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19. Para peritel bisa merugi hingga Rp 200 triliun.

“Kalau angka, kami itu setahun sekitar Rp 400 triliun. Kalau pun hanya 50% ya omzetnya turun Rp 200 triliun, ya kerugiannya di situ. Tapi kan biayanya nggak bisa utuh,” kata Budi dalam webinar yang bertema Dalam Keterpurukan Penyewa dan Pusat Perbelanjaan Menghadapi Resesi Ekonomi, Senin (28/9/2020).

Menurut Budi, ketika masa transisi PSBB di periode Juni-Agustus 2020, peritel mulai mengais omzetnya karena mal sudah boleh buka meski dibatasi pengunjungnya 50%. Namun, ketika PSBB Jakarta diperketat kembali, para pengusaha kembali pesimistis.

“Di bulan Juni-Agustus kita mulai pengembalian omzet, pencicilan terhadap semua pemasok juga kami menyetor, kami harapkan ke depan bisa jadi lebih baik. Tapi pada bulan 9 di Jakarta yang merupakan 50% kekuatan ekonomi ritel di pusat belanja, harus menghadapi adanya PSBB jilid ketiga, dan itu restoran-restoran tidak bisa dine in. Itu juga berpengaruh sangat besar ke tenant lain, karena tidaklah mungkin orang ke mal tetapi terus tidak ada yang ke kafe. Mereka akhirnya mengurungkan ke malnya,” papar Budi.

Pengusaha Mal Masih Ditagih Pajak

Meski sudah menanggung kerugian besar, namun para pengusaha mal masih harus menanggung pajak yang besar. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Perbelanjaan Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mengaku masih harus memenuhi kewajiban berbagai pajak, terutama yang ditetapkan pemerintah daerah (Pemda) seperti di DKI Jakarta, padahal operasional mal dibatasi.

“Yang kami minta ada tiga jenis dari pemerintah pusat yaitu pembebasan PPh dan PPN, kedua dari Pemda itu pembebasan PBB, pajak reklame dan parkir. Ini kenapa kami minta karena meskipun pusat perbelanjaan tutup dan tidak operasional secara penuh, tapi tetap bayar pajak reklame dan PBB,” kata Alphonzus.

Kembali ke Budi, ia mengatakan kewajiban-kewajiban pajak itu bisa memakan biaya operasional hingga 25%.

“Kalau untuk porsinya, secara persentase costing dari sewa maupun biaya lainnya bisa mencapai, selain gaji yang terbesar dan operasional, itu bisa di 20-25% dari costing kami,” terang Budi.

Menambahkan kembali, Alphonzus mengatakan para pengusaha sangat memerlukan stimulus pajak tersebut, misalnya dalam bentuk pembebasan pajak.

“Meskipun pusat perbelanjaan tutup dan tidak operasional secara penuh, tapi tetep bayar pajak reklame dan PBB. Kalau dibebaskan maka tentu ini akan langsung manfaat kepada pusat belanja untuk bisa atur cash flow supaya tidak defisit, kalau tidak defisit bisa bantu meminimalkan PHK, bantu penyewa,” jelas Alphonzus.

1,5 Juta Pegawai Mal Terancam Dirumahkan

Budi mengatakan, dengan kondisi tersebut maka sekitar 1,5 juta pegawai mal-mal di Indonesia terancam kehilangan pendapatannya, dirumahkan, hingga dikenakan pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Jumlah tenaga kerja di kami ada sekitar 3 juta. Yang terdampak itu 50%, itu adalah sektor yang ada di pusat belanja atau mal. Nah di mal itu kalau 50% itu terdampak, sudah pasti angkanya sebesar itu yang akan berkurang pendapatannya, maupun dirumahkan. Jadi di 1,5 juta pegawai itu akan terjadi, dan itu belum termasuk keluarganya. Walaupun dibantu pemerintah, itu daya belinya akan kena juga,” kata Budi.

Untuk saat ini, ada 90 pengusaha mal sudah melaporkan kinerjanya. Dari laporan itu, ada 100.000 pegawai yang dirumahkan. Sementara, total peritel mal di Indonesia sendiri jumlahnya mencapai ribuan.

“Kalau dirumahkan itu kita anggap 1 shift. Karena kan biasanya 2 shift. Kita belum ada detail. Tapi kita kemarin sudah dapat angka dari anggota, tapi baru sampai di angka 100.000 pegawai,” jelas Budi.

Untuk mencegah ancaman pegawai dirumahkan hingga PHK, pengusaha meminta pemerintah memberikan subsidi sebesar 50% dari gaji pegawai ritel pusat-pusat perbelanjaan atau mal. Dengan subsidi itu, maka pengusaha hanya menanggung 50% gaji pegawai.

“Ya jadi sudah waktunya untuk langsung diberikan bantuan yang sifatnya langsung. Potongan-potongan sweetener. Misalnya gaji karyawan ditanggung negara 50%, itu yang kami ajukan. Kami juga sudah bikin surat PEN kepada Pak Menko bahwa sektor konsumsi ini harus dijaga. Kalau sampai ini kena, pertahanan kita sudah tidak ada. Karena di sini adalah benteng terakhir, ritel,” terang Budi.

Menurutnya, pengusaha mal sudah berupaya sebisa mungkin untuk bertahan meski tak ada lagi pemasukan.

“Kami sudah berupaya sejak Maret sampai bulan 8 ini, dan itu adalah perjuangan maksimal kami. Kami memohon kepada pemerintah membantu dengan langsung,” tutur Budi.

Ia mengatakan, Indonesia sebagai negara yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga perlu mempertahankan sektor ritel yang jadi salah satu penyumbang pertumbuhan konsumsi terbesar. Selain itu, bantuannya ini bisa mencegah adanya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Jangan sampai ada PHK. Oleh karena itu kami ajukan juga untuk bantuan tunai kepada karyawan, sehingga costuntuk penggajian dari kamu bisa berkurang, karena itu sangat penting. Dengan adanya pengurangan, kewajiban kami untuk bayar gaji karyawan dengan bantuan ini seperti di Singapura, dan negara-negara lain. Di mana sektor ritel dijaga supaya bertahan,” ujar dia.

Ia berharap, pemerintah bisa mewujudkan usulan ini dalam waktu dekat. Menurutnya, saat ini napas para pengusaha berkejaran dengan waktu.

“Kami merasa sudah saatnya, waktu itu sangat cepat, harus cepat tindakan tindakan yang dilakukan pemerintah karena ini sudah lampu merah,” tutup Budi.