Senin, 04 Januari 2021 / 08:30 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210103135730-78-588915/mengenal-produk-keuangan-syariah-asuransi-hingga-deposito/1

Jakarta, CNN Indonesia — Pangsa pasar keuangan syariah di Indonesia memang masih imut-imut. Namun, banyak kalangan percaya prospeknya di Tanah Air akan terus berkembang.

Lihatlah, dengan penetrasi pasar yang saat ini masih rendah saja, Islamic Finance Development Indicator (IFDI) sudah menempatkan industri keuangan syariah RI di posisi kedua dunia.

Posisi tersebut naik dari 2019 di peringkat keempat dunia, menggeser Bahrain dan Arab Saudi.Bahkan, meski terjadi tren penurunan kinerja industri keuangan di tengah pandemi corona, beberapa instrumen keuangan syariah tetap mencatatkan pertumbuhan positif.

Asuransi SyariahLantas apa saja instrumen keuangan syariah yang ada di Indonesia? Apa bedanya dengan instrumen konvensional dan apa pula kekurangan kelebihannya? Berikut ulasannya:

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Muhammad Syakir Sula menerangkan secara prinsip ada tiga hal dalam asuransi konvensional yang tidak diperbolehkan dalam syariat Islam.

Pertama, karena alasan gharar, yakni transaksi meragukan, spekulatif atau dalam hal ini menyebabkan ketidakjelasan dari jumlah atau premi yang dibayarkan.

Kedua, alasan maisir atau transaksi dalam bentuk permainan atau gambling. Ketiga, karena alasan riba, yaitu tambahan atas pokok atau bunga.

“Ketiga hal tersebut yang oleh ulama tidak boleh karena itu di luar fatwa. Karena itu, asuransi konvensional tidak dibolehkan dalam Islam,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Kamis (31/12).

Selain itu, asuransi syariah harus menggunakan akad atau perjanjian tertulis, yakni tabarru’ dan akad Tijarah, seperti wakalah bil ujrah, mudharabah musytarokah, dan wakaf.

Sedangkan akad yang digunakan asuransi konvensional mengacu pada ketentuan perundang-undangan dan tidak terbatas pada halal dan haramnya objek atau sistem investasi yang digunakan.”Intinya dari akad ini, supaya ketiga prinsip konvensional yang disebutkan sebelumnya tidak ada dan menjadi lebih jelas,” imbuhnya.

Secara garis besar, asuransi konvensional memiliki misi utama untuk sosial, sedang asuransi syariah memiliki misi Aqidah, misi ibadah (Ta’awun), misi ekonomi (iqtishad) dan misi pemberdayaan umat (sosial).

Meski demikian, menurut Syakir, kelebihan dan kekurangan antara asuransi syariah dan konvensional di luar urusan agama, hanya terletak pada sistem manajerialnya. Sehingga, meski bebas dari riba, belum tentu pelayanan asuransi syariah lebih baik dari konvensional.

“Boleh jadi konvensional pelayanannya lebih bagus karena modal besar, sedangkan ada asuransi syariah yang masih kecil, modalnya kecil sehingga pelayanannya kurang bagus,” imbuhnya.

Namun, ada satu produk asuransi syariah yang tak ada di asuransi konvensional, yakni asuransi wakaf. Hal ini dapat dianggap sebagai kelebihan. Sebab dapat memudahkan umat Islam untuk berwakaf dengan cara mencicil.

“Ada orang mau wakaf dia tidak punya uang banyak. Nah salah satu cara dia adalah lewat asuransi. Misalnya saya mau wakaf Rp10 juta, saya bisa cicil dari gaji saya Rp 1 juta. Nanti sepuluh tahun baru diwakafkan. Kalau dia meninggal di tahun ke dua, wakafnya tetap diberikan,” jelasnya.

  • Surat Berharga Syariah

Surat Berharga Negara (SBN) atau obligasi pemerintah menjadi salah satu instrumen yang cukup banyak digemari investor dari dalam negeri.

Jika dikelola secara konvensional, instrumen investasi ini kerap disebut surat utang. Namun, ada juga obligasi syariah atau surat berharga syariah negara (SBSN) atau yang dikenal sebagai sukuk.

Sukuk merupakan cerminan kepemilikan aset berwujud yang disewakan atau akan disewakan dan bukan berupa surat utang.

“Jadi yang syariah underlying asetnya negara, misalnya kantor kementerian, jadi harus ada jaminannya. Kalau ada SBN konvensional kan enggak perlu. Jadi kalau di syariah ada yang bisa dieksekusi asetnya itu simpelnya,” terang Syakir.

Pada sukuk, imbal hasil yang diberikan adalah berupa uang sewa (ujrah) atau bagi hasil dengan persentase tertentu sesuai dengan prinsip syariah Islam yang tidak mengandung unsur riba.

Hal ini berbeda dengan obligasi konvensional yang memberikan keuntungan berupa bunga.

“Kalau di SBSN itu mekanisme yang digunakan itu bagi hasil sedangkan yang konvensional bunga. Itu kan enggak boleh,” tuturnya.

Sama seperti asuransi, kelebihan dan kekurangan investasi SBSN atau sukuk dengan konvensional terletak pada masalah manajerial. Namun, sambung Syakir, pada periode awal SBSN ritel diperkenalkan kepada publik, bunganya sempat lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi lain seperti deposit.

“Dulu ketika baru keluar saya sempat beli itu karena lebih tinggi hasilnya dibanding bank. Dalam satu tahun itu sempat 12 persen. Bandingkan dengan bank yang satu tahun 11 persen atau lebih,” ucapnya

Selain itu, kelebihan SBSN dan sukuk lantaran terdapat pernyataan halal atau kesesuaian syariah dari DSN MUI.

  • Saham Syariah

Tak jauh berbeda dengan investasi, saham syariah juga didasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai syariat Islam. Bedanya dengan konvensional, indeksnya dikeluarkan oleh pasar modal syariah.

Jika indeks Islam dikeluarkan oleh suatu institusi yang bernaung dalam pasar modal konvensional, maka perhitungan indeks tersebut berdasarkan kepada saham-saham yang memenuhi kriteria-kriteria syariah yakni gharar maisir serta riba.

Untuk saham syariah yang tercatat dalam bursa sesuai halal, mekanisme transaksinya penjualan dan pembeliannya tidak boleh dilakukan secara langsung untuk menghindari manipusi harga.

Kekurangannya saham-saham syariah tidak memasukkan saham-saham perbankan ataupun barang-barang yang mengandung unsur haram, termasuk rokok dan minuman alkohol.

Sedangkan kelebihan indeks saham syariah adalah keuntungan besar ketika kondisi saham yang berbasis riba, seperti perbankan atau pun mengalami penurunan harga saham.

  • Pembiayaan Syariah

Syakir menjelaskan ada beberapa perbedaan mendasar antara leasing (pembiayaan) syariah dengan leasing konvensional. Dalam pembiayaan syariah, transaksi dilakukan pemberian pinjaman selaku penjual, sedangkan pembiayaan konvensional adalah kreditur.

Pembiayaan konvensional memberikan pinjaman kepada konsumen. Dengan pinjaman tersebut, konsumen membeli kendaraan dari dealer dan selanjutnya membayar cicilan kepada pembiayaan konvensional.

Sementara dalam pembiayaan syariah, sebagai penjual, perusahaan harus telah memiliki barang yang akan dijual kepada konsumen. Karena itu lah, lembaga pembiayaan harus membeli barang dari supplier, baik tunai ataupun tidak tunai.

“Misalnya, saya mau beli mobil Rp1 miliar, saya bilang ke lembaga pembiayaan. Nanti mereka hubungi dealer, beli mobilnya. Setelah itu baru saya bayar mobil ke lembaga pembiayaan atau bank itu,” imbuh Syakir.

Tahapan kedua, perusahaan menjual barang tersebut kepada konsumen dengan harga lebih besar sesuai kesepakatan dengan menegaskan harga beli ditambah biaya-biaya perolehan dan keuntungan.

Transaksi tersebut dilakukan dengan barang diserahkan secara tunai dan pembayaran dilakukan secara angsur atau tidak runai.

“Kelebihannya karena dia sudah sepakat cicilannya berapa dari margin dan tidak pakai bunga yang cenderung ikut kebijakan bank sentral. Tetapi menguntungkan mana itu masalah manajemennya,” lanjut Syakir.

  • Deposito Syariah

Ini adalah produk perbankan yang masuk dalam kategori produk simpanan berjangka dan dikelola menggunakan sistem syariah. Seperti diketahui, dalam prinsip syariah, uang yang Anda tempatkan di deposito syariah tidak ada istilah bunga karena hukumnya haram menurut Islam.

Namun, bukan berarti deposito syariah tak menguntungkan. Pemilik simpanan tetap dapat memperoleh margin dari bagi hasil (nisbah). Cara menentukan bagi hasil yang biasa digunakan dalam deposito berjangka syariah secara umum biasanya nominal seluruh deposito dikalikan persentase bagi hasil, kemudian dikalikan keuntungan bank pada bulan tersebut.

Dalam investasi syariah, berlaku akad mudharabah. Akad mudharabah adalah suatu cara perhitungan keuntungan yang di dapat oleh nasabah yang dilakukan dengan cara nisbah atau bagi hasil.

Produk deposito syariah punya kelebihan, salah satunya karena nisbah yang ditawarkan adalah 60:40 untuk nasabah dan bank. Sehingga, semakin pintar bank memutar uang yang didepositkan untuk menghasilkan keuntungan, maka pemilik deposito akan mendapat untung yang juga makin besar.

Sedangkan kekurangannya adalah tak dapat menikmati imbal hasil tinggi ketika bank sentral menerapkan rezim suku bunga tinggi seperti pada 2019 silam.