Oleh: Toto, S.E., M.H., BKP.
Sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD 1945, yang menyatakan bahwa, Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Sehingga jelas, dalam pemungutan pajak yang meliputi didalamnya adalah penghitungan, pembayaran, pelaporan dan prosedur lainnya serta sistem yang dijalankan harus diatur dalam Undang-Undang.
Undang-Undang Perpajakan di Indonesia terdiri dari;
- Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)
- Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh)
- Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan
- Undang-Undang Pajak Lainnya (PBB, Bea Materai, Bea Cukai, BPHTB dan Pajak Daerah).
Secara umum dan administratif atau disebut formal, seluruh pelaksanaan aturan perundang-undangan perpajakan mengacu pada Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Termasuk didalam perihal sistem perpajakan yang dianut. Mengacu pada Pasal 2, 3, 4, dan Pasal 8 UU. KUP No. 6 tahun 1983 yang diubah terakhir dengan No. 16 tahun 2009, secara tersirat bahwa Indonesia menganut sistem self-assessment dimana pemerintah memberikan keleluasan kepada wajib pajak untuk mengupdate kondisinya terkait usaha atau penghasilan yang dimilikinya.
Namun sistem self-assessment tersebut bukanlah sistem yang terbatas hanya mengacu pada penilaian wajib itu sendiri, namun penilaian tersebut haruslah sesuai dan berpatokan dengan rambu-rambu yakni ketentuan perpajakan yang berlaku yang ditetapkan didalam Undang-Undang Perpajakan, mengingat, Pasal 1 ayat 1 UU. KUP No. 28 tahun 2007 menyatakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sebagai penyeimbang dan konsekuensi dari sistem self-assessment tersebut maka pemerintah dalam hal ini melalui otoritas pajak, berhak melakukan pengujian ataupu pemeriksaan terhadap penilaian diri yang dilakukan oleh wajib pajak yang bersangkutan, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 29 UU. KUP No. 28 tahun 2007 sebagai berikut, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Inilah alasan mendasar mengapa wajib pajak dapat diperiksa oleh pemerintah dalam hal ini otoritas pajak melalui pemeriksa pajak (fiskus).
Walaupun memang, itu tidak berarti secara teknis seluruh wajib pajak akan dilakukan pemeriksaan atas proses penilaian sendiri oleh wajib pajak atas kondisi perpajakannya. Mengingat jumlah pegawai pajak (fiskus) yang masih belum ideal dibandingkan dengan jumlah wajib pajak di Indonesia. Sehingga akhirnya otoritas pajak menyusun prioritas tentang wajib pajak seperti apakah yang diprioritaskan untuk diperiksa perihal kesesuaian penilaian diri terhadap kondisi wajib pajak dengan ketentuan perpajakan yang berlaku menurut undang-undang perpajakan.
Sepanjang penilaian diri wajib pajak atas kondisi perpajakannya telah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku maka pastilah proses pemeriksaan akan berjalan mudah, cepat dan efektif.
Demikian gambaran umum atau latar belakang dilakukannya pemeriksaan oleh pemeriksa pajak terhadap wajib pajak. Dalam tulisan berikutnya, saya akan menyampaikan tulisan, lalu mengapa saya yang diperiksa dari jutaan wajib pajak lainnya?
Salam hormat.