04/08/2023
Source : https://www.cnbcindonesia.com/research/20230803070817-128-459679/menerka-arah-pajak-ekspor-nikel-yang-nyaris-ditiru-filipina/
- Belakangan kita sudah mendengar rencana penerapan pajak atas ekspor komoditas nikel yakni Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi)
- Rencana pengenaan pajak untuk ekspor komoditas nikel masih dalam pembahasan.
- Kebijakan hilirisasi Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah nyatanya dicontoh oleh negara tetangga.
Jakarta, CNBC Indonesia – Belakangan kita sudah mendengar rencana penerapan pajak atas ekspor komoditas nikel yakni Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi). Namun, hingga saat ini rencana ini belum diterapkan dan masih dalam tahap pembahasan.
Sebagaimana diketahui, kebijakan pemerintah untuk fokus mendorong hilirisasi nikel mulai membuahkan hasil dalam mendorong perekonomian daerah dan nasional. Ekspor produk nikel dan investasi sektor ini melonjak pesat dalam beberapa tahun terakhir.
Dengan cadangan nikel terbesar di dunia, hilirisasi nikel jadi krusial agar Indonesia bisa mengambil kesempatan masuk dalam rantai pasok pengembangan kendaraan listrik dunia.
Dengan potensi yang dimiliki Indonesia, muncul lah inisiasi untuk pajak ekspor. Namun, untuk saat ini penerapan pajak ekspor produk nikel ini belum juga direalisasikan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa pengenaan pajak ekspor atau bea keluar produk hilirisasi Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi) dilakukan ketika harga nikel dalam kondisi bagus. Sementara, saat ini harga produk nikel di pasar internasional belum seperti yang diharapkan.
Artinya, saat ini pemerintah tampak tengah mencari keseimbangan untuk tidak terlalu cepat memberikan pengenaan pajak, karena saat rencana itu diinisiasikan, harga nikel lagi bagus, sehingga volume produksi digenjot cukup besar. Akibatnya, harga nikel kini turun.
Dengan proses ini, pemerintah tampak tidak akan memberikan izin baru untuk pembangunan pabrik pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel, kecuali menggunakan sumber energi hijau alias clean energy.
Dalam catatan CNBC Indonesia, pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) memang menjadi salah satu prioritas pemerintah dalam memberikan manfaat yang lebih besar kepada negara.
Adapun progres pembangunan smelter di Indonesia untuk nikel, bauksit, besi dan tembaga di Indonesia, hingga tahun 2022 lalu, 5 unit smelter terintegrasi telah selesai dibangun dan 12 unit masih dalam tahap pembangunan. Ditargetkan, ada 8 smelter lagi mulai beroperasi tahun 2023 ini, 6 di antaranya untuk pengolahan nikel.
Sementara itu, nilai investasi smelter nikel untuk tahun ini diperkirakan sekitar US$ 2.676,4 juta. Jika kita menggabungkan semua nilai investasi untuk smelter lainnya, termasuk bauksit, tembaga, dan besi, nilai investasi diperkirakan mencapai US$ 11.666,2 juta.
Melansir dari data Kementerian ESDM per Juli 2023, total ada 300 Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel dalam tahap operasi dan produksi dan 3 Kontrak Karya. Sedangkan jumlah smelter yang diperkirakan beroperasi di Indonesia pada beberapa tahun ke depan mencapai 111 unit. Namun, hingga kini baru 37 smelter yang beroperasi, 32 dengan Izin Usaha Industri (IUI) dan 5 IUP. Sedangkan sisanya masih dalam tahap pembangunan (konstruksi) dan perencanaan. Berikut rinciannya.
Namun memang, untuk saat ini pemerintah masih perlu mempertimbangkan, serta mengkaji lebih dalam sambil menunggu bagaimana kelanjutan dari proses hukum di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sebagaimana diketahui, persoalan kekalahan Indonesia atas gugatan hukum perdagangan belum juga berakhir. Setelah resmi dinyatakan kalah pada Oktober 2022 lalu, ternyata Pemerintah memutuskan untuk terus ‘fight‘ atas kekalahan tersebut dengan mengajukan banding pada Desember 2022.
Namun demikian, Uni Eropa tidak terima Indonesia mengajukan banding gugatan di Organisasi Perdagangan Dunia atas kekalahan gugatan pada Oktober 2022 terkait larangan ekspor bijih nikel. Uni Eropa kini menyiapkan konsultasi Penegakan Regulasi (Enforcement Regulation) atas kebijakan larangan ekspor bijih nikel Indonesia. Uni Eropa mengumpulkan para pemangku kepentingan terkait, khususnya industri baja di negara-negara mereka, yang terdampak atas kebijakan Pemerintah Indonesia.
Belum finalnya keputusan di WTO ini mendorong pemerintah untuk mempersiapkan instrumen, serta kebijakan yang nantinya dapat digunakan terkait dengan hilirisasi dan industri nikel.
Untuk diketahui, saat ini pemerintah masih melakukan percobaan penerapan tarif 2% di harga US$ 15.000 hingga 16.000 per ton. Tarif ini bersifat progresif dan akan dinaikkan seiring dengan kenaikan harga nikel.
Tujuan Penerapan Pajak Ekspor Nikel
Saat itu, latar belakang utama rencana kebijakan pajak ekspor nikel ini yaitu realisasi harga nikel yang tinggi di pasaran, yakni di kisaran US$ 20.000 per ton. Belum lagi potensi penggunaan nikel sebagai bahan baku baterai kendaraan listrik yang kuantitasnya semakin bertambah, sejalan dengan upaya beralih dari energi fosil ke energi ramah lingkungan.
Potensi ini tentu harus dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memperkuat keuangan negara melalui penerimaan pajak, serta memperkuat struktur ekonomi Indonesia melalui hilirisasi industri nikel.
Dengan kenaikan harga di pasar yang saat itu menarik dibanding pasar domestik, pelaku usaha tentu cenderung untuk memilih pasar ekspor ketimbang pasar domestik.
Di sisi lain, banyaknya jumlah pabrik pengolahan nikel yang menggunakan teknologi peleburan bahan baku bijih nikel tipe saprolite makin bertambah setiap harinya. Hasil olahan produk nikel NPI dan FeNi, yang berbahan baku bijih nikel tipe saprolite juga semakin bertambah kuantitasnya, sementara cadangan bahan baku tidak dapat mengimbangi laju penambahan kuantitas pabrik tersebut.
Untuk menghindari habisnya bahan baku atau setidaknya menekan laju depresiasi bahan baku, pemerintah berencana menerapkan pajak atas ekspor nikel.
Manfaatnya jelas, penerapan pajak ekspor ini memiliki tujuan untuk mendorong hilirisasi nikel menjadi produk-produk seperti baterai kendaraan listrik. Pemerintah berupaya memberikan dorongan supaya investasi ke produk nikel tak hanya berhenti bahan mentah hasil aktivitas upstream seperti NPI dan FeNi, melainkan ke produk turunan nikel lainnya.
Pengenaan pajak ekspor nikel sebagai langkah dukungan kebijakan pemerintah dalam meningkatkan hilirisasi pertambangan di dalam negeri. Pajak ekspor bukan hanya untuk keuangan negara, tapi sebagai instrumen memperkuat struktur ekonomi Indonesia.
Langkah pemerintah mengembangkan hilirisasi nikel bisa menimbulkan neraca pembayaran Indonesia. Trade account menjadi lebih baik karena ekspor yang terjadi bukan berupa barang mentah, melainkan produk bernilai tambah yang sudah melalui proses hilirisasi di dalam negeri.
Ini menimbulkan nilai tambah dan meningkatkan daya tahan dari eksternal dan struktur ekonomi Indonesia.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pada 2015, ekspor barang mentah dari nikel mencapai Rp 31 triliun. Kini nilai ekspor nikel sudah mencapai Rp 510 triliun.
“Tadi angkanya Rp 31 triliun, negara pasti akan pungut pajak PPN, PPh, royalti, penerimaan negara bukan pajak, dari angka Rp 31 triliun. Kemudian melompat menjadi Rp 510 triliun juga dipungut PPN, PPh, royalti penerimaan negara bukan pajak (PNBP), gede mana negara akan dapat,” ujarnya.
Presiden Jokowi menyadari kebijakan hilirisasi nikel kini ditentang banyak pihak di dunia. Meski demikian, Presiden Jokowi tetap melanjutkan kebijakan tersebut karena memberikan dampak yang nyata terhadap negara. Data tersebut belum termasuk yang tengah berkembang di Morowali, Sulawesi Tengah.
Maka, pengenaan pajak atas ekspor komoditas nikel akan memberikan tekanan terhadap pelaku industri nikel, terutama bagi perusahaan yang melakukan ekspor produk olahan nikel. Bila pajak atas ekspor komoditas nikel terealisasi, pemerintah tampaknya perlu menyediakan dan mendukung ekosistem hulu dan hilir industri nikel.
Penerapan kebijakan ini harus mempertimbangkan ketersediaan fasilitas industri hilir di Indonesia, yakni industri yang bisa menyerap produk-produk yang telah dihasilkan oleh smelter nikel dalam negeri dan mengolahnya lebih lanjut menjadi produk akhir seperti baterai kendaraan listrik (Electronic Vehicle/ EV battery). Apabila tidak sejalan dengan ketersediaan fasilitasnya, maka pajak yang diterapkan bisa malah menghambat perkembangan industri nikel dalam negeri.
RI Masih ‘Kebingungan’, Filipina Malah Belajar dari RI?
Negara tetangga Indonesia yakni Filipina sedang mempertimbangkan untuk mengenakan pajak ekspor bijih nikel di antara opsi untuk mendorong penambang di negara pemasok logam terbesar kedua dunia itu untuk berinvestasi dalam pemrosesan. Hal ini dilakukan dalam rangka mencontoh keberhasilan Indonesia.
“Kami ingin keluar dari sekadar bagian dari rantai pasokan. Kami ingin menjadi bagian dari rantai nilai. Tanpa fasilitas untuk mengolah bijih mineral, kami hanya akan menjadi negara penjual dan kami tidak ingin hanya menjadi negara penjual,” kata Sekretaris Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina Maria Antonia “Toni” Yulo-Loyzaga dalam sebuah wawancara di kantornya, dikutip dari Mining.
Pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. itu sedang berusaha untuk meningkatkan pertambangan untuk lebih menumbuhkan ekonomi yang membukukan ekspansi terkuatnya dalam hampir lima dekade tahun lalu.
Dengan kurang dari 3% yang ditambang dari 9 juta hektar, potensi nikel di Filipina ini masih sangat besar.
“Ada serangkaian tindakan, termasuk pandangan progresif pada pajak ekspor nikel mentah untuk meningkatkan investasi di fasilitas pemrosesan di sini,” tambah Loyzaga.
Untuk diketahui, Indonesia dan Filipina adalah pemasok nikel terbesar di dunia. Nikel digunakan untuk membuat baja tahan karat (stainless steel) dan komponen utama baterai kendaraan listrik yang biasanya dijual ke pasar utama China.
Tetapi, Indonesia melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 dan terus menggencarkan hilirisasi di dalam negeri, sehingga meningkatkan nilai ekspor dari US$ 3 miliar pada 2017 menjadi US$ 30-an miliar dalam lima tahun.
Terinspirasi oleh keberhasilan Indonesia, Menteri Perdagangan Filipina Alfredo Pascual mengatakan badan tersebut sedang mempertimbangkan apakah akan mengenakan pajak ekspor atas ekspor nikel mentah atau melarang pengiriman bijih sepenuhnya.
Filipina memiliki 55 tambang logam dan tujuh pabrik pemrosesan mineral, termasuk dua untuk nikel yang dioperasikan oleh Nickel Asia Corp, yang sebagian dimiliki oleh Sumitomo Metal Mining Co Jepang. Loyzaga mengatakan targetnya adalah menambah tiga fasilitas pemrosesan mineral lagi selama masa jabatannya.
Belajar dari Afrika, Rugi Miliaran Karena Penghindaran Pajak
Indonesia maupun Filipina tampak tak mau mengulang sejarah kerugian negara akibat ‘terlalu baik’ soal pajak ini. Tahun 2008 dan 2010 Afrika pernah mengalami kerugian tahunan rata-rata US$ 38 miliar karena penghindaran pajak. Pendapatan yang hilang ini lebih besar dari aliran bantuan pembangunan ke daerah selama periode yang sama.
Dalam penelitian IMF yang berjudul “Countering Tax Avoidance in Sub-Saharan Africa’s Mining Sector”, Sub-Sahara Afrika diperkirakan memiliki 30% dari cadangan mineral global, mewakili peluang besar bagi kawasan tersebut.Terlepas dari tingkat investasi swasta yang tinggi di sektor kritis ini, analisis baru menemukan bahwa banyak perusahaan multinasional menghindari pembayaran pajak mereka.
Dalam laporan tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah di Sub-Sahara Afrika sekarang berada di bawah tekanan luar biasa untuk meningkatkan belanja publik sebagai respons terhadap pandemi di mana kawasan ini kehilangan antara US$ 450 dan US$ 730 juta per tahun dalam pendapatan pajak penghasilan perusahaan sebagai hasil dari pengalihan laba oleh perusahaan multinasional di bidang pertambangan.
Tindakan kebijakan yang ditargetkan untuk mengurangi penghindaran pajak dapat membantu pemerintah memulihkan sebagian dari pendapatan pajak yang sangat dibutuhkan ini untuk membantu pemulihan dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Untuk mengatasi hal ini, 136 negara, termasuk 20 negara di Afrika Sub-Sahara, bulan lalu menyetujui tarif pajak perusahaan minimum efektif sebesar 15% mulai tahun 2023.
Pentingnya pertambangan untuk ekonomi di wilayah ini sudah sangat jelas. Sektor pertambangan menyumbang sekitar 10% terhadap PDB di 15 negara Afrika Sub-Sahara yang padat sumber daya. Di sebagian besar negara tersebut, ekspor pertambangan rata-rata mewakili 50% dari total ekspor dan merupakan sumber utama investasi asing langsung.
Foto: IMF
Country Authorities, FAD Resource Revenue Tax Database, FDI Markets and IMF Staff Estimate |
Sebagian besar negara di Afrika mengumpulkan pendapatan dari industri pertambangan melalui kombinasi royalti, pajak penghasilan perusahaan, dan kadang-kadang negara mengambil saham kepemilikan non-pengendali dalam proyek di mana mereka menerima dividen dari laba perusahaan.
Struktur rezim fiskal pertambangan di daerah secara langsung mempengaruhi pola dan besaran penerimaan dari pertambangan.
Selain itu, pemerintah telah menurunkan tarif pajak penghasilan badan di berbagai sektor, termasuk pertambangan, di tengah persaingan menarik investasi dan upaya mendorong pembangunan ekonomi.