21/11/2024

Source: https://www.pajak.com/pajak/menang-2-0-di-lapangan-bagaimana-indonesia-dan-arab-saudi-berhadapan-dalam-kebijakan-pajak/

Pajak.comJakarta – Indonesia meraih kemenangan bersejarah atas Arab Saudi dengan skor 2-0 dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia FIFA 2026 yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Selasa, 19 November 2024. Prestasi ini tidak hanya membanggakan di kancah internasional, tetapi juga memberikan semangat baru bagi tim nasional Indonesia, yang bertekad kembali ke Piala Dunia setelah absen selama 86 tahun.

Di balik kemenangan di lapangan, Indonesia dan Arab Saudi juga memiliki perbedaan yang mencolok dalam kebijakan ekonomi, khususnya perpajakan. Mulai dari Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hingga bea masuk dan tax amnesty, kedua negara ini menunjukkan pendekatan yang berbeda dalam mengelola perekonomian mereka. Bagaimana kebijakan tarif pajak ini memengaruhi daya saing ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di masing-masing negara?

PPh: Kontribusi Warga vs Pendapatan Minyak

Di Indonesia, PPh merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Tarif PPh orang pribadi bersifat progresif, dengan rentang 5 persen hingga 35 persen, tergantung pada besarnya penghasilan. Semakin tinggi pendapatan, semakin besar pula kontribusi pajak yang harus dibayarkan. Artinya, kebijakan ini dirancang untuk mengurangi ketimpangan ekonomi sekaligus membiayai program pembangunan nasional.

Sebaliknya, Arab Saudi mengambil pendekatan yang sangat berbeda. Negara ini tidak mengenakan PPh orang pribadi kepada warga Saudi maupun penduduk dari negara-negara Gulf Cooperation Council (GCC), karena pendapatan negara sebagian besar berasal dari sektor minyak dan gas. Namun, PPh sebesar 20 persen diterapkan pada laba kena pajak individu non-Saudi dan non-GCC yang berstatus penduduk, terutama mereka yang bekerja di sektor nonminyak.

Bagi bukan penduduk tanpa registrasi resmi atau bentuk usaha tetap di Saudi, penghasilan yang diperoleh dari negara tersebut dikenakan pemotongan pajak. Entitas Saudi juga diwajibkan memotong pajak dari pembayaran yang dilakukan kepada bukan penduduk terkait penghasilan yang berasal dari Saudi, tanpa memperhatikan status Wajib Pajak entitas tersebut.

Perbedaan ini menyoroti dua pendekatan yang kontras: Indonesia berfokus pada partisipasi warga melalui sistem pajak progresif, sementara Arab Saudi mengandalkan sumber daya alam yang melimpah, meskipun tetap menerapkan pajak kepada pihak asing yang beroperasi di negaranya.

PPN: Stabilitas vs Respons Krisis

Di sektor PPN, Indonesia dan Arab Saudi menunjukkan perbedaan kebijakan yang signifikan. Di tengah perdebatan terkait kenaikan PPN menjadi 12 persen yang bakal diberlakukan mulai Januari 2025, Indonesia saat ini masih menerapkan tarif PPN sebesar 11 persen pada sebagian besar barang dan jasa. PPN ini merupakan salah satu pilar utama penerimaan negara, berperan penting dalam menjaga kestabilan fiskal dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Arab Saudi memperkenalkan penerapan PPN lebih baru, yakni pada tahun 2018, dengan tarif awal sebesar 5 persen. Namun, pada 2020, akibat tekanan ekonomi global dan penurunan harga minyak, Pemerintah Arab Saudi menaikkan tarif PPN menjadi 15 persen.

Kenaikan tajam ini dilakukan sebagai langkah cepat untuk menutupi defisit anggaran akibat pandemi COVID-19 dan penurunan pendapatan minyak. Kebijakan ini merupakan bukti bahwa Arab Saudi tengah berusaha menyesuaikan diri dengan tantangan ekonomi global, sekaligus mengurangi ketergantungan pada minyak.

Bea Masuk: Perlindungan Industri Lokal vs Akses Barang Global

Indonesia dan Arab Saudi juga memiliki perbedaan dalam penerapan pajak impor atau bea masuk. Indonesia menerapkan tarif yang beragam, dari 0 persen hingga 150 persen, tergantung pada jenis barang. Kebijakan ini didesain untuk melindungi industri dalam negeri dari serbuan produk asing, sekaligus mendorong konsumsi produk lokal.

Sementara itu, Arab Saudi umumnya menetapkan tarif bea masuk yang lebih rendah, berkisar antara 5 hingga 15 persen. Bahkan, beberapa barang yang dianggap esensial untuk pembangunan infrastruktur atau proyek strategis nasional dapat memperoleh pengecualian bea masuk.

Sejalan dengan Vision 2030 yang bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi negara dan mengurangi ketergantungan pada minyak, Saudi juga mempermudah akses terhadap barang-barang impor yang penting. Sebagai contoh, Saudi Zakat, Tax and Customs Authority (ZATCA) telah mengumumkan penghapusan biaya untuk semua layanan bea cukai ekspor dan mengurangi biaya layanan bea cukai untuk impor melalui mekanisme baru.

Biaya layanan impor kini dihitung sebesar 0,15 persen dari nilai barang yang masuk, termasuk biaya asuransi dan pengiriman. Struktur biaya baru ini telah berlaku sejak 6 Oktober 2024. Bagi pengiriman yang dibebaskan dari bea cukai dan pajak, biaya maksimum yang dikenakan adalah 130 riyal Saudi (sekitar Rp 500.000).

Selain itu, biaya deklarasi bea cukai sebesar 15 riyal Saudi (sekitar Rp 58.000) juga berlaku untuk pengiriman individu yang dipesan dari toko daring, selama nilai pengiriman tidak melebihi 1.000 riyal Saudi (sekitar Rp 3.800.000). Kebijakan ini mencerminkan upaya Saudi untuk menyederhanakan prosedur bea masuk sekaligus mendukung kebijakan diversifikasi ekonomi di Negara Minyak ini.

Program Pengampunan Pajak: Meningkatkan Kepatuhan Pajak

Indonesia terkenal dengan kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak, yang bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dan memperluas basis pajak. Program ini memberikan kesempatan bagi orang pribadi dan badan untuk melaporkan aset yang belum dikenakan pajak, dengan pengurangan sanksi. Salah satu yang paling sukses adalah tax amnesty 2016, yang membantu meningkatkan penerimaan pajak secara signifikan dan menarik banyak aset yang sebelumnya disembunyikan di luar negeri.

Baru-baru ini, Rapat Paripurna DPR juga telah resmi menyetujui RUU Pengampunan Pajak untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Menurut Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun, RUU ini menjadi bagian dari upaya untuk mengamankan visi dan misi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang jika diimplementasikan, diharapkan dapat memperkuat kebijakan perpajakan di Indonesia. Oleh karena itu, RUU pengampunan pajak ini perlu segera disiapkan sebagai bagian dari strategi jangka panjang pemerintahan.

Di Arab Saudi, program pengampunan pajak diperkenalkan oleh ZATCA pada Maret 2020 sebagai langkah untuk membantu mengurangi dampak finansial dari pandemi COVID-19. Program ini bertujuan memberikan keringanan bagi bisnis dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.

Program pengampunan pajak ini telah diperpanjang beberapa kali, dengan perpanjangan terbaru mencakup periode 1 Januari hingga 30 Juni 2024, dan kemudian diperpanjang lagi untuk periode 1 Juli hingga 31 Desember 2024. Dus, program ini mencakup kewajiban pajak yang harus dipenuhi sebelum tanggal efektif perpanjangan tersebut, dengan jenis pajak yang termasuk adalah Pajak Barang dan Jasa (excise tax), PPN, Pajak Transaksi Real Estat, PPh badan, serta PPh yang dipotong pihak ketiga (withholding tax).