Rabu, 27 Oktober 2021 / 07:20 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211026130637-78-712470/memahami-bi-fast-dan-bedanya-dengan-sistem-kliring

Jakarta, CNN Indonesia — Bank Indonesia (BI) akan mulai mengimplementasikan BI-Fast Payment tahap pertama mulai pekan kedua Desember 2021 mendatang. Nantinya, sistem akan beroperasi selama 24 jam dan mempercepat sistem kliring di bank tanpa batas.

BI Fast dirancang untuk menggantikan Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI).

Lantas apa itu BI Fast dan apa bedanya dengan sistem kliring?

BI Fast merupakan infrastruktur sistem pembayaran bagi pelaku industri, ritel, dan UMKM lewat pembayaran transfer online. BI Fast bakal memfasilitasi pembayaran ritel menggunakan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara seketika (real-time) dan setiap saat atau 24/7.

Menurut Deputi Gubernur BI Doni P Joewono, inisiatif tersebut merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 guna menyediakan infrastruktur sistem pembayaran ritel yang cepat.

Selain itu, juga untuk mewujudkan industri penyelenggara sistem pembayaran yang inovatif, kolaboratif, dengan standar keamanan yang terjaga.

Bakal diimplementasikan secara bertahap, penyelenggaraan BI Fast tahap pertama tahun ini meliputi kepesertaan, penyediaan infrastruktur, dan batas maksimal nominal transaksi.

Lewat BI Fast, biaya transfer dari bank kepada nasabah dikenakan sebesar Rp2.500 per transaksi. Biaya lewat BI Fast lebih murah dari transaksi transfer antar bank yang saat ini senilai Rp6.500 per transaksi atau Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI) sebesar Rp2.900 per transaksi

Sedangkan untuk tarif transfer dari BI ke bank hanya dikenakan sebesar Rp19 per transaksi. BI menyatakan bakal mengevaluasi berkala terkait tarif transfer seiring dengan perkembangan layanan.

“Ini lebih murah dari SKNBI, tapi manfaatnya, BI Fast jauh lebih besar karena bisa transaksi 24 jam, sedangkan SKNBI hanya dari pagi sampai sore. Tarif ini juga batas maksimal, bagi bank yang bisa tawarkan lebih murah, silakan, kami mendukung,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Jumat (22/10).

Sedangkan untuk nominal transfernya, BI menetapkan minimal dan maksimal batas transfer di BI Fast senilai Rp1-Rp250 juta per transaksi.

Bila dibandingkan dengan sistem pembayaran Real Time Gross Settlement (RTGS), nilai transfer BI Fast lebih fleksibel. Pasalnya, pada sistem pembayaran RTGS besaran dana transfer dipatok sebesar Rp100 juta sampai Rp250 juta.

“Ini karena BI Fast untuk transaksi ritel, yang lebih kecil, tapi terserah masyarakat mau pilih yang mana, pakai BI Fast atau RTGS,” tutur dia.

Kendati murah, namun Perry menilai kebijakan tarif ini tidak akan membuat pendapatan non-bunga bank menurun. Misalnya, pendapatan komisi dari layanan transfer yang diberikan atau dikenal juga fee based income.

Sebab, dia meyakini ketika tarif transfer murah, maka nasabah akan lebih sering melakukan transaksi, sehingga volume transaksi bank ikut meningkat. Saat jumlah transaksi naik, maka pendapatan juga bisa terkerek.

“Karena pendapatan itu berasal dari berapa banyak yang dijual dan harganya,” imbuhnya.

Selain dari peningkatan transaksi, ia juga meyakini sistem pembayaran ritel yang baru ini bisa membuat masyarakat yang sebelumnya tidak terjangkau bank menjadi terlayani, sehingga ada potensi nasabah dari kalangan baru.

Perry mengatakan saat ini ada 22 bank yang sudah mendaftar untuk bisa memberikan layanan transfer melalui BI Fast. Operasional sendiri akan dimulai pada pertengahan Desember 2021.

Mereka adalah BTN, Bank DBS Indonesia, Bank Permata, Bank Mandiri, Bank Danamon, Bank CIMB Niaga, BCA, Bank HSBC Indonesia, Bank UOB Indonesia, dan Bank Mega.

Lalu, BNI, BSI, BRI, Bank OCBC NISP, UUS BTN, UUS Bank Permata, UUS CIMB Niaga, UUS Bank Danamon, BCA Syariah, Bank Sinarmas, Citibank, dan Bank Woori Saudara Indonesia.

BI memberi keleluasaan bagi 22 bank ini untuk menyediakan infrastruktur pendukung dalam mengakses sistem BI Fast secara independen, subindependen atau berekanan, dan sharing (berbagi) antar beberapa peserta.

Rencananya, ada 22 bank lain yang bergabung dalam sistem pembayaran BI Fast pada Januari 2022. Mereka adalah Bank Sahabat Sampoerna, Bank Harda International, Bank Maspion, Bank KEB Hana Indonesia, BRI Agroniaga, Bank Ina Perdana, dan Bank Mandiri Taspen.

Selanjutnya, Bank National Nobu, UUS Bank Jatim, Bank Mestika Dharma, Bank Jatim, bank Multiarta Sentosa, Bank Ganesha, UUS Bank OCBC NISP, Bank Digital BCA, UUS Bank Sinarmas, UUS Bank Jateng, Standard Chartered Bank, Bank Jateng, BPD Bali, Bank Papua, dan Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).

Ke depan, Perry mengatakan bank-bank lain yang berminat untuk masuk ke sistem BI Fast dapat mengajukan diri ke BI. Bila memenuhi syarat kesiapan dari sisi infrastruktur, teknologi, hingga sumber daya manusia, maka bank sentral nasional akan menambahkan mereka ke sistem BI Fast setiap enam minggu sekali secara berkala.

“Kepesertaan BI-FAST terbuka bagi bank, lembaga selain bank, dan pihak lain, sepanjang memenuhi kriteria umum dan khusus yang telah ditetapkan,” tutup Perry.