Kamis, 05 November 2020 / 10.19 WIB
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201104175037-532-565968/memahami-beda-resesi-dan-krisis-ekonomi
Jakarta, CNN Indonesia — BPS akan mengumumkan kinerja perekonomian dalam negeri kuartal III pada Kamis (5/11) pukul 11.00. Meski baru mau diumumkan, Indonesia sudah dipastikan masuk ke jurang resesi karena pertumbuhan ekonomi negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) misalnya sudah memperkirakan perekonomian Indonesia di kuartal III lalu akan tumbuh sekitar minus 3 persen.
Sementara pada kuartal II 2020 pertumbuhan ekonomi Indonesia minus 5,32 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan perhitungan resesi merujuk pada pertumbuhan ekonomi secara tahunan, bukan kuartalan. Artinya, menurut dia, ekonomi suatu negara yang minus dalam dua kuartal berturut-turut belum bisa disebut resesi.
Merujuk pada laporan T. Eric Reich di Pressofatlanticcity.com, kontraksi ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut disebut sebagai resesi teknikal.
Selama masa pandemi sendiri hampir semua negara di dunia mengalami resesi teknikal. Bahkan, sebelum pandemi, negara seperti Hong Kong mengalami resesi teknikal karena perang dagang dan kondisi politik di negara tersebut pada 2019.
Kendati resesi, sejumlah kalangan menyebut Indonesia belum bisa disebut mengalami krisis ekonomi.
Lalu apa bedanya resesi dengan krisis ekonomi?
Vice President Economist PT Bank Permata Josua Parade menuturkan krisis ekonomi adalah keadaan yang mengacu pada penurunan kondisi ekonomi drastis yang terjadi di sebuah negara.
Penyebabnya adalah fundamental ekonomi yang rapuh antara lain tercermin dari laju inflasi tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang macet.
Hal lain yang bisa membuat suatu negara mengalami krisis ekonomi adalah beban utang luar negeri yang melimpah dan melebihi kemampuan bayar, investasi yang tidak efisien, defisit neraca pembayaran yang besar dan tidak terkontrol.
“Krisis ekonomi sendiri dipahami sebagai adanya shock pada sistem perekonomian di suatu negara yang menyebabkan adanya kontraksi pada instrumen perekonomian di negara tersebut, seperti nilai aset ataupun harga,” kata dia.
Gejala krisis ekonomi biasanya, lanjut Josua, biasanya juga didahului oleh penurunan kemampuan belanja pemerintah, jumlah pengangguran melebihi 50 persen dari jumlah tenaga kerja, penurunan konsumsi atau daya beli rendah, kenaikan harga bahan pokok yang tidak terbendung, penurunan pertumbuhan ekonomi yang berlangsung drastis dan tajam, dan penurunan nilai tukar yang tajam dan tidak terkontrol.
Selain resesi dan krisis, ada pula kondisi depresi ekonomi. Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan suatu negara disebut depresi apabila ekonominya minus selama dua tahun berturut-turut.
Indonesia bukan tak mungkin mengalami depresi jika ekonominya tak berbalik positif hingga kuartal II 2022 mendatang. Hal tersebut bisa terjadi jika pemerintah tak memiliki ancang-ancang atau skenario yang matang dalam menangani dampak pandemi virus corona di dalam negeri.
Pengendalian ini bukan hanya dari sisi ekonomi saja, tapi juga penularan virus corona itu sendiri. “Penanganan harus benar. Harus paralel penanganan virus corona dan pemulihan ekonomi,” tutur Bhima.
Apabila depresi ekonomi terjadi, dampaknya akan semakin parah ketimbang resesi. Bhima bilang resesi saja bisa membuat perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran karena ekonomi tak bergerak.
PHK tersebut akan menambah pengangguran di suatu negara. Dengan demikian, jumlah orang miskin akan bertambah. Daya beli masyarakat pun akan semakin melemah sehingga pemerintah perlu ongkos lebih besar lagi untuk memperbaiki perekonomian.
Bisa dikatakan, situasinya akan semakin parah jika suatu negara benar-benar depresi. Jumlah pegawai yang terkena PHK dan jumlah orang miskin akan lebih melonjak dibandingkan kalau negara mengalami resesi.
“Kalau depresi akan terjadi penutupan usaha di semua sektor mulai dari UMKM sampai perusahaan besar itu bisa bangkrut. Jadi PHK massal,” jelas Bhima.