14 Februari 2022 / 5:17 WIB
https://ekonomi.bisnis.com/read/20220214/259/1499946/konsumsi-rumah-tangga-lemah-bikin-potensi-penerimaan-ppn-loyo-sepanjang-2021
Bisnis.com, JAKARTA — Kurang optimalnya daya pungut otoritas fiskal terhadap pajak atas konsumsi masyarakat akibat pandemi telah menghilangkan sekitar 40 persen lebih potensi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai sepanjang tahun lalu.
Berdasarkan penghitungan Bisnis, kemampuan pemerintah dalam memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terefleksi di dalam value added tax (VAT) gross collection ratio pada 2021 hanya mencapai 59,65 persen.
Artinya, otoritas pajak hanya berhasil memungut sebesar 59,65 persen dari total potensi PPN yang bisa masuk ke kantong negara. Adapun total potensi penerimaan PPN pada tahun lalu tercatat mencapai Rp923 triliun.
Angka tersebut diperoleh dengan mengalikan tarif efektif PPN sebesar 10 persen dengan konsumsi rumah tangga yang sepanjang tahun lalu berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai Rp9.236 triliun.
Dibandingkan dengan 2020, VAT gross collection ratio pada 2021 memang mencatatkan kenaikan. Pada tahun sebelumnya, total daya pungut PPN tercatat di angka 57,65 persen.
Kendati demikian, realisasi pada 2021 terbilang masih rendah lantaran pemerintah belum mampu memacu penerimaan pajak atas konsumsi masyarakat secara optimal.
Sekadar informasi, VAT gross collection ratio merupakan skema yang paling ideal untuk mengukur keberhasilan pemerintah dalam menarik pajak atas konsumsi masyarakat. Pasalnya, skema ini menggunakan basis acuan konsumsi rumah tangga.
Sesungguhnya, acuan lain untuk memotret kinerja PPN bisa dilakukan dengan VAT ratio. Hanya saja, VAT ratio kurang ideal dan bersifat lebih umum karena menggunakan basis total produk domestik bruto (PDB) di Indonesia.
Capaian VAT gross collection ratio tersebut berbanding terbalik dengan laporan belanja perpajakan atau tax expenditure yang dipublikasikan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).
Selama ini, PPN dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) selalu menempati posisi teratas dalam alokasi belanja perpajakan. Hal ini mengindikasikan bahwa insentif yang dikucurkan oleh pemerintah untuk memacu konsumsi masyarakat selalu lebih tinggi dibandingkan dengan stimulus untuk sektor lain.
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai, ada dua faktor utama yang menyebabkan pungutan atas pajak konsumsi tidak maksimal.
Pertama adanya fasilitas pengecualian barang dan jasa dari objek PPN sehingga potensi penerimaan hangus. Kedua besarnya insentif yang diberikan oleh pemerintah untuk mendorong konsumsi masyarakat.
“Dari sisi PPN, masih banyak fasilitas berupa nonobjek PPN,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.