13/07/2022, 13:07 WIB
https://www.kompas.com/hype/read/2022/07/13/130753266/koalisi-seni-minta-pemerintah-kaji-ulang-soal-perbedaan-besaran-pajak

JAKARTA, KOMPAS.comKoalisi Seni meminta pemerintah mengevaluasi kembali perbedaan angka pajak hiburan pada berbagai bentuk kesenian di daerah.

Berdasarkan riset yang dilakukan lembaga advokasi kesenian, persentase pajak hiburan yang diskriminatif mempengaruhi keberlangsungan ekosistem kesenian.

“Pengenaan pajak yang tinggi membuat bentuk seni tertentu menjadi tidak menarik bagi pelaku usaha. Akibatnya, akses masyarakat terhadap seni menjadi terbatas,” kata Ketua Pengurus Koalisi Seni Kusen Alipah, Rabu (13/7/2022). Koalisi Seni sempat melakukan riset pada 2019 terkait peraturan daerah dan pajak hiburan di 508 kabupaten/kota di Indonesia.

Dari riset itu, Koalisi mendapati pemerintah daerah cenderung memproyeksikan bidang seni sebagai objek pajak, ketimbang mendorong pemajuannya.

“Ada potensi Pemda bisa sewenang-wenang menentukan bentuk seni tertentu yang ingin mereka majukan,” ungkap Koordinator Riset Koalisi Seni, Ratri Ninditya.

Ratri menambahkan, dari 508 kabupaten/kota di Indonesia, 367 di antaranya memiliki peraturan daerah tentang pajak hiburan.

Kemudian, dari seluruh kabupaten/kota tersebut, hanya 105 daerah yang mempunyai perda terkait kebudayaan, dan 72 di antaranya spesifik merujuk pada Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan (UUPK).

“Dari situ kita bisa melihat, aturan soal pajak seni tiga kali lipat lebih banyak dibanding regulasi pemajuan kebudayaan,” kata Ratri.

Menurut Ratri, tidak ada yang salah dengan keberadaan pajak hiburan.

Namun idealnya, pendapatan dari pajak hiburan itu juga ikut dirasakan pelaku seni, untuk mengembangkan ekosistemnya sendiri.

Sebagai informasi, persentase pungutan dan kategorisasi pajak hiburan sebetulnya sudah diatur dalam UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperbaharui dalam UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dalam aturan baru, seluruh jasa hiburan dan kesenian masuk dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu dan dikenakan tarif maksimal 10 persen kecuali kategori diskotek, kelab malam, dan bar yang bertarif 40 hingga 75 persen.

Walaupun aturan itu memberi keleluasaan bagi Pemda untuk merancang tarif pajak hiburan, Koalisi Seni menilai perbedaan persentase pungutannya tergolong ekstrem.

Jenis hiburan dengan peminat relatif banyak dan skala lebih besar, dikutip pajak lebih tinggi. Sebaliknya, hiburan seni yang sepi peminat dibebankan pajak lebih rendah.

Dari seluruh peraturan yang ditemukan, pajak paling tinggi ditemukan pada kategori hiburan malam dan pagelaran musik, subkategori musik internasional, yaitu sebesar 75 persen.

Untuk kategori hiburan malam, terdapat 37 kabupaten/kota yang mengenakan pajak hingga 75 persen, dan 40 kota yang menerapkan pajak 50 persen dalam kategori tunggal (tidak memisahkan diskotek/klab malam dan karaoke).

Koalisi Seni menilai, ruang lingkup kategorisasi yang kurang jelas ini berpotensi menimbulkan persoalan.

Di sisi lain, banyak daerah yang memberi keringanan hingga pembebasan pajak pada seni tradisi karena dianggap melestarikan kebudayaan, punya motif sosial, dan bagian dari ritual adat atau agama masyarakat lokal.

“Kami menemukan 48 kabupaten/kota dan 1 provinsi yang membebaskan pajak hiburan untuk seni tradisi. Sementara 92 kabupaten/kota lainnya, mengenakan persentase pajak kecil untuk seni tradisi, yaitu sebesar 5 persen,” ungkap Ratri.

Sebaliknya, ada daerah yang secara eksplisit memberlakukan pajak tinggi terhadap bentuk seni yang bertentangan dengan nilai budaya setempat.

Contohnya di Kabupaten Pidie, Aceh, yang mengenakan pajak 50 persen terhadap semua jenis kesenian kecuali yang bernapaskan Islam.

Bioskop Pidie juga dikenakan pajak 50 persen tanpa terkecuali.

Kebijakan ini, menurut Ratri, akan semakin menghalangi pelaku usaha berinvestasi dalam industri bioskop di Aceh.

Oleh karena itu, Koalisi Seni mendorong agar pemerintah daerah segera mengevaluasi perbedaan persentase pajak hiburan ini dan kategori seni yang masih kabur definisinya.

“Tentunya dengan mempertimbangkan Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) sebagai turunan UU Pemajuan Kebudayaan,” ujar Ratri.