Kamis, 5 Agustus 2021 / 06:37 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210804195735-92-676516/jerit-pengusaha-daerah-tak-sanggup-bertahan-di-tengah-ppkm

Jakarta, CNN Indonesia — Sebagian besar pengusaha daerah ‘menjerit’ kesulitan bertahan menghadapi dampak pengetatan mobilitas saat PPKM lanjutan level 3 dan 4. Pandemi yang melanda selama 1,5 tahun membuat para pengusaha ini tak lagi punya bantalan untuk bertahan.

Ketua Umum BPD Hipmi Jawa Tengah sekaligus Direktur Utama PT Dafam Properti Indonesia Tbk Billy Dahlan mengatakan keadaan pengusaha mulai kritis akibat tidak diperbolehkan beroperasi selama 2-3 pekan terakhir.

Dia menyebut masalah yang dihadapi pengusaha lebih dari sekedar dampak PPKM sebulan terakhir, namun kebijakan tidak konsisten pemerintah yang memaksa pengusaha buka tutup usaha sesuai aba-aba pemerintah. Ia mengaku paham dengan kebingungan pemerintah menghadapi pandemi 6 bulan pertama.

Tapi kalau sudah 1,5 tahun tapi belum ada kebijakan konkret, ia mengaku pengusaha mulai ‘gerah’ dengan kebijakan blunder pemerintah. Dia menilai PPKM boleh saja diterapkan tapi harus ada ukuran efektivitas dari kebijakan.

“Dari sisi dunia usaha tidak apa-apa PPKM. Tapi PPKM yang lebih efektif lah, artinya dunia usaha butuh stabilitas. Dunia usaha kan tidak bisa buka tutup, ya hancur lah setelah 17 bulan,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (4/8).

Dia menyayangkan kebijakan pemerintah yang tidak menyasar sampai ke akar permasalahan. Dengan kebijakan ala rem dan gas tanpa realisasi percepatan vaksinasi dan rendahnya 3T, ia menilai bakal terjadi jebakan pandemi di mana penutupan ekonomi akan kerap terjadi.

Mengutip data Kementerian Kesehatan per Rabu (4/8), baru 10,53 persen populasi yang sudah menerima vaksin lengkap. Angka itu, menurut dia, jauh dari memuaskan bila melihat target tercapainya herd immunity akhir tahun ini.

Billy juga mengkritisi pemerintah yang hingga kini tidak menggratiskan tes PCR dan masker untuk masyarakat. Ia menyebut kewajiban bayar PCR ini membuat masyarakat enggan melakukan tes, bila tes saja minim, apalagi tracing (pelacakan) dan treatment (pengobatan).

“Ini kami kritik karena kalau pemerintah blunder terus yang paling hancur dunia usaha dan kalau masuk ke krisis ekonomi, maka krisis sosial dan keamanan rentan sekali,” papar dia.

Billy mencontohkan usahanya yang bergerak di bidang perhotelan, properti, makanan dan minuman, tambang, dan kontraktor. Sebelumnya, ia memiliki 6.000 karyawan, namun kini yang masih dipekerjakan kurang dari setengahnya.

Ia mengaku sudah melakukan PHK terhadap 1.000 orang dan merumahkan 2.500 orang lainnya. Bila pandemi segera tak ditangani, ia khawatir akan semakin banyak karyawan yang bakal terdampak.

Pengusaha lain dari Jawa Barat sekaligus Ketua Apindo Jawa Jabar Ning Wahyu Astutik menyebut dampak dari PPKM sebulan terakhir sangat memberatkan pengusaha. Menurut dia, banyak pengusaha di Kota Kembang yang sejak tahun lalu memberlakukan masuk bergilir karena tidak membutuhkan karyawan seperti waktu normal akibat anjloknya omzet.

Kendati tak mengantongi data pasti soal kerugian dan jumlah karyawan PHK, namun ia memperkirakan terbatasnya operasional memangkas produktivitas sebesar 50 persen atau lebih.

Hasil produksi yang merosot kemudian menguras kas pengusaha. Khusus untuk industri hotel, ia mengatakan okupansi rendah praktis membuat sebagian besar pelaku usaha mati suri.

“Banyak hotel tutup karena jika dibuka pun okupansi sangat rendah dengan biaya operasional jauh lebih tinggi,” kata dia.

Astutik mengatakan penerapan PPKM yang kerap tiba-tiba membuat bingung pengusaha, pasalnya aturan teknis pelaksanaannya pun sering membingungkan. Belum lagi kalau kena sidak oleh pemda dan mendapat sanksi. Sebenarnya, lanjut Astutik, pengusaha tidak banyak tuntut. Harapannya, suku bunga himbara dapat ditekan mengikuti realitas ekonomi di lapangan.

“Setelah ada covid-19, bunga bank relatif tidak berubah di kisaran 14 persen,” ujarnya.

Selain itu, dia juga berharap pemerintah dapat memberi kelonggaran berupa penundaan pembayaran pajak tanpa sanksi. Sebab, bila pengusaha tercekik terus-menerus ia menyebut niscaya gelombang PHK besar-besaran bakal terjadi. Belum lagi penutupan massal perusahaan yang sekarang sedang berjuang untuk sekedar bertahan.

“Kerugian belum ada hitungan detil, tapi secara logika hitungan aturan dengan 50 persen pembatasan berarti 50 persen produktivitas hilang,” pungkasnya.