Selasa, 22 September 2020 / 08:00 WIB

https://finance.detik.com/moneter/d-5182710/ini-penyebab-bunga-kredit-bank-masih-setinggi-langit?tag_from=wp_nhl_3&_ga=2.95839259.662021258.1600657709-1641308475.1600132160

Jakarta – Rata-rata bunga kredit pada periode Juli 2020 tercatat 9,92% turun 4 basis poin dibandingkan periode bulan sebelumnya 9,96%. Ini tertuang dalam data Uang Beredar yang diterbitkan oleh BI pada Agustus 2020 lalu.

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad mengungkapkan masih tingginya bunga kredit ini terjadi karena bank tidak menginginkan net interest margin (NIM) turun.

“Pertama bank itu tidak mau NIM nya terlalu turun, sekarang kan sudah di kisaran 4,6%. NIM itu sumber keuntungan mereka,” kata Tauhid saat dihubungi detikcom, Selasa (22/9/2020).

Dia mengungkapkan selanjutnya beban operasional dan pendapatan operasional (BOPO) bank masih terbilang tinggi dan bank belum mampu mengurangi proses efisiensi dari biaya operasional.

Selanjutnya bank juga masih berhati-hati di tengah kondisi pandemi ini. Misalnya bank memperketat persyaratan orang untuk menarik pinjaman. “Jadi ini mengurangi risiko bermasalah atau kemungkinan NPL yang tinggi,” ujar dia.

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan mengungkapkan penurunan bunga ini memang dilematis. Pasalnya suku bunga tinggi akan menghambat pemulihan ekonomi.

Serta merugikan perusahaan dan nasabah perorangan yang mempunyai pinjaman dalam rupiah. Total kredit dalam rupiah mencapai Rp5.000 triliun lebih (termasuk perusahaan pembiayaan). Dari jumlah tersebut, kredit konsumsi mencapai Rp1.600 triliun.

Kelompok peminjam rupiah ini sangat dirugikan dengan kebijakan moneter mempertahankan suku bunga tinggi yang notabene menguntungkan investor asing.

“Setiap penurunan 1% bunga kredit akan memberi tambahan likuiditas Rp 50 triliun per tahun kepada kelompok peminjam rupiah. Penurunan bunga kredit yang ideal di masa resesi ini bisa mencapai 5% dibandingkan bunga kredit saat ini.