Senin, 08 Maret 2021 / 18:40 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210308155324-92-615137/indef-sebut-90-persen-produk-e-commerce-ri-berasal-dari-impor

Jakarta, CNN Indonesia — Institute for Developments of Economics and Finance (Indef) menyoroti maraknya produk impor yang dijual melalui platform e-commerce. Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Media Wahyudi Askar menyebut porsi produk impor bisa mencapai 90 persen.

Padahal, menurut Wahyudi, produk impor  yang membanjir akan membuat upaya Kementerian Perdagangan membasmi praktik predatory pricing dan melindungi produk lokal di platform belanja online makin sulit dilakukan.

“Predatory pricing itu kan harus melihat mana yang menguntungkan mana yang diuntungkan. Kalau kita melihat strukturnya 90 persen adalah produk impor bagaimana kita membandingkannya dengan produk lokal?,” ujarnya dalam webinar yang digelar Indef, Senin (8/3).

Mengutip sejumlah riset, Wahyudi menuturkan hampir sebagian produk-produk impor yang dijual di marketplace juga berasal dari China. Ironisnya ketika barang impor asal negeri tirai bambu membanjiri e-commerce Indonesia, produk-produk lokal menghadapi pembatasan yang cukup besar ketika ingin masuk China.

Wahyudi juga menyoroti potensi ketimpangan ekonomi yang muncul dari maraknya digitalisasi di Indonesia. Pasalnya, mayoritas pedagang yang kini memanfaatkan platform e-commerce bukanlah UMKM melainkan pelaku usaha besar.

“Ini penelitian yang sudah banyak dilakukan. Artinya ini perlu diantisipasi ke depan. Ada struktur e-commerce di Indonesia yang tidak sustainable karena penjual adalah kelompok masyarakat atas,” imbuhnya.

Seperti diketahui, masalah produk impor yang membanjiri e-commerce sempat membuat Presiden Joko Widodo geram dan mengajak masyarakat menggaungkan benci produk asing.

Belakangan Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi mengoreksi pernyataan tersebut dan menyatakan hal tersebut lebih disebabkan karena banyaknya praktik predatory pricing di e-commerce.

Ia mengatakan Kementerian Perdagangan akan mengatur pemberian diskon melalui perusahaan perdagangan digital, alias e-commerce untuk mencegah dan memberantas praktik predatory pricing.

Predatory pricing adalah strategi penjualan dengan mematok harga yang sangat rendah dengan tujuan menyingkirkan pesaing dari pasar dan menarik pembeli dengan harga murah.

“Masalah harga itu adalah kesepakatan penjual dan pembeli. Tetapi, untuk urusan diskon ini kami akan regulasi,” ujarnya.

Ia juga akan memastikan transaksi penjualan yang berlaku di Indonesia sesuai dengan asas dan aturan perdagangan dalam negeri. Dalam hal ini, praktik curang perdagangan seperti predatory pricing, subsidi harga, dumping, dan sejenisnya dilarang di Indonesia.

Oleh sebab itu, lanjutnya, Kementerian Perdagangan sebagai wasit akan lebih ketat dalam mengawasi hal tersebut.

“Jadi, tidak bisa sembarangan dengan alasan diskon perusahaan-perusahaan digital ini men-deploy (menyebarkan) me-launch (merilis) dan mengerjakan predatory pricing. Jadi, alasannya diskon tapi sebetulnya mereka melaksanakan predatory pricing,” tegasnya.