19/12/2024
Source: https://www.pajak.com/ekonomi/impor-ilegal-ancam-industri-tekstil-di-indonesia-60-perusahaan-gulung-tikar/
Pajak.com, Jakarta – Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengungkapkan bahwa, Industri tekstil Indonesia menghadapi tantangan besar akibat derasnya aliran impor ilegal yang merugikan banyak pihak. Dalam dua tahun terakhir, 60 perusahaan tekstil terpaksa gulung tikar, menyebabkan sekitar 250 ribu pekerja kehilangan pekerjaan.
“Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi,” ungkap Redma dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Rabu (18/12).
Ia menambahkan bahwa penyebab utama dari penurunan ini adalah membanjirnya barang impor ilegal yang masuk ke pasar domestik tanpa kontrol pemerintah.
Menurut Redma, kondisi ini diperparah oleh deindustrialisasi yang telah berlangsung selama 10 tahun terakhir. Meski sempat pulih pada 2021 saat impor dari Cina terhenti akibat pandemi COVID-19, industri tekstil kembali terpuruk setelah impor dibuka kembali. Barang-barang ilegal yang membanjiri pasar membuat banyak perusahaan tidak mampu bersaing dan akhirnya berhenti beroperasi.
Dampak Luas ke Sektor Lain
Masalah ini tidak hanya memengaruhi industri tekstil, tetapi juga sektor-sektor terkait seperti petrokimia dan produksi Purified Terephtalic Acid (PTA), bahan baku utama tekstil. Penurunan produksi di sektor ini juga mengurangi permintaan listrik dari industri tekstil, sehingga efek domino terjadi di berbagai sektor lain.
“Masalahnya adalah impor yang tidak terkendali. Hal ini menurunkan utilisasi industri kita dan berdampak pada sektor lain, seperti listrik dan logistik,” jelas Redma.
Industri tekstil memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian Indonesia, dengan menyumbang 11,73 persen konsumsi listrik di sektor industri dan 5,56 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Namun, sekitar 40 persen barang tekstil yang masuk ke pasar domestik kini berasal dari impor ilegal.
“Impor ilegal menjadi pembunuh utama bagi industri tekstil Indonesia,” imbuh Redma, seraya menyoroti kerugian negara dari sisi pajak dan bea masuk akibat masalah ini.
Dalam kesempatan itu, Redma menekankan perlunya tindakan cepat dari pemerintah untuk mengatasi impor ilegal. Salah satu langkah penting yang ia usulkan adalah perbaikan sistem di pelabuhan, termasuk penggunaan scanner dan sinkronisasi data manifest impor yang lebih ketat.
“Ada kelemahan sistem di pelabuhan, terutama terkait penggunaan scanner dan data manifest impor yang tidak sinkron. Hal ini menjadi celah bagi masuknya barang ilegal,” tegasnya.
Selain itu, ia juga mendorong peningkatan daya saing produk lokal dengan memanfaatkan potensi pasar domestik yang besar. Jika masalah impor ilegal dapat diatasi, sektor tekstil diyakini mampu kembali menyumbang hingga 8 persen terhadap PDB nasional.
“Namun, semua ini harus dimulai dengan memperbaiki regulasi dan menangani masalah impor ilegal,” pungkas Redma.