Selasa, 24 November 2020 / 09.47 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201124093125-532-573660/utang-menumpuk-china-injak-rem-guyur-pinjaman-lewat-obor

Jakarta, CNN Indonesia — China diperkirakan menginjak pedal rem mengurangi jumlah kucuran pinjaman dalam program Belt and Road Initiative atau jalur sutra modern yang juga dikenal dengan OBOR. Hal ini dikarenakan kenaikan utang China sendiri mulai menekan ekonomi Negeri Tirai Bambu.

Mengutip South China Morning Post, Selasa (24/11), Presiden China Xi Jinping kembali menyampaikan komitmennya dalam program jalur sutra di forum Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC). Namun, pandangan terkait keberlanjutan proyek tersebut masih beragam mengingat tumpukan utang China.

“China selanjutnya akan menyelaraskan kebijakan, aturan, dan standar dengan mitra (Belt and Road Initiative), dan memperdalam kerja sama yang efektif dalam bidang infrastruktur, industri, perdagangan, inovasi sains dan teknologi, kesehatan masyarakat, dan pertukaran SDM,” kata Xi dalam pidatonya di APEC.

Namun, pertumbuhan ekonomi Negeri Tirai Bambu melambat, seiring dengan meningkatnya beban utang domestik akibat pandemi covid-19.

Kondisi ini memunculkan pertanyaan apakah China akan mengurangi keterlibatannya di global dalam beberapa tahun ke depan, khususnya untuk pembiayaan proyek jalur sutera.

Perlu diketahui, proyek ambisius ini pertama kali diperkenalkan oleh Xi Jinping selama kunjungannya pada 2013 ke Kazakhstan.

Proyek yang semula bernama One Belt, One Road (OBOR) ini menghubungkan lebih dari 70 negara di Asia, Eropa dan Afrika melalui sejumlah proyek infrastruktur.

Meliputi, pembangunan rel kereta api, jalan raya, dan proyek infrastruktur laut, sehingga membentuk jalur sutra Baru.

Tujuan China adalah meningkatkan koneksi regional dan integrasi ekonomi, sehingga memperluas pengaruh ekonomi dan politik China.

Sejumlah analis menilai China tidak akan meninggalkan sepenuhnya proyek tersebut. Namun, China diprediksi mengurangi besaran pinjaman untuk proyek tersebut karena kebutuhan domestik dan memastikan keberlanjutan pinjaman di masa mendatang.

Tidak ada angka resmi terkait total pinjaman China proyek Jalur Sutera. Namun, berdasarkan data Refinitiv, nilai proyek jalur sutra, termasuk semua proyek dengan keterlibatan China lebih dari US$4 triliun pada kuartal I 2020.

Proyek tersebut terdiri dari 1.590 proyek senilai US$1,9 triliun yang merupakan program jalur sutra. Sedangkan, 1.574 proyek lainnya senilai US$2,1 triliun diklasifikasikan sebagai proyek dengan keterlibatan China.

Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan sekitar US$500 miliar diinvestasikan dalam proyek jalur sutra hingga 2019 lalu, yang tersebar di 50 negara berkembang. Dari jumlah itu, sekitar US$300 miliar diperkirakan telah dibiayai melalui utang publik dan dijamin publik.

Di sisi lain, laporan Institute of Keuangan Internasional (IIF) menyebut utang perusahaan non-keuangan di China naik menjadi lebih dari 165 persen dari produk domestik bruto (PDB) pada kuartal III 2020. Posisi itu lebih tinggi dibandingkan 150 persen dari PDB pada kuartal yang sama tahun lalu.

Pertumbuhan utang tersebut, tidak hanya yang tertinggi di antara negara-negara berkembang, tetapi juga telah melampaui semua pasar maju.

Sementara itu, total utang China di sektor rumah tangga, pemerintah, dan perusahaan non-keuangan naik menjadi hampir 290 persen dari PDB pada kuartal III 2020. Jumlah tersebut naik dibanding 255 persen dari PDB pada periode yang sama tahun lalu.

Utang ini tidak termasuk utang keuangan untuk menghindari potensi penghitungan ganda.

Di lain pihak, grup kredit asuransi Prancis, Euler Hermes memperkirakan 10 negara Afrika dan Amerika Latin yang mendapat manfaat dari pinjaman China sejak 2010, menghadapi kesenjangan pembiayaan eksternal sebesar US$47 miliar pada 2025 mendatang.

Ini merupakan akibat dari pelepasan bertahap China dari pembiayaan tersebut. 10 negara tersebut meliputi Argentina, Brasil, Ekuador, Angola, Mesir, Ethiopia, Ghana, Kenya, Afrika Selatan, dan Zambia.

“China perlu lebih selektif dalam proyek-proyek yang dibiayai, terutama di negara berkembang. Negara-negara (Belt and Road Initiative) yang berada di tengah-tengah proyek infrastruktur besar, dan juga berutang budi padanya, mungkin tidak lagi menemukan sumber daya yang tersedia untuk melanjutkan proyek-proyek ini,” kata Kepala ekonom untuk Asia-Pasifik di French Financial Alicia Garcia-Herrero.

Indonesia sendiri masuk sebagai salah satu negara yang mendapatkan pinjaman program tersebut. Sebelumnya, Deputi III Bidang Infrastruktur Kemenko Maritim Ridwan Djamaluddin mengatakan 9 dari 30 proyek infrastruktur yang ditawarkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) 2nd The Belt and Road Initiative dilirik oleh China.

Tak hanya itu, pemerintah China sepakat melakukan enam studi bersama di luar Pulau Jawa mengenai berbagai proyek infrastruktur, misalnya Taman Bunga di Danau Toba, Kawasan Industri Tanah Kuning, dan wisata Lembeh.

Total nilai dari sembilan proyek dan enam studi bersama itu sebesar US$20 miliar atau setara dengan Rp280 triliun (kurs Rp14 ribu per dolar Amerika Serikat). Sementara itu, total nilai dari 30 proyek yang ditawarkan mencapai US$91,1 miliar atau Rp1.275,4 triliun.