Rabu, 24 Maret 2021 / 07:11 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210324063350-532-621281/tak-ada-alasan-mendesak-laksanakan-program-tax-amnesty-lagi/1

Jakarta, CNN Indonesia — Wacana pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II mengemuka di publik. Hal ini mulanya diketahui karena cuitan Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun melalui unggahan di akun Twitter pribadinya, @MMisbakhun pada Jumat (19/3).

“Tax amnesty jilid II kembali diwacanakan sebagai salah satu upaya strategis dalam memulihkan perekonomian nasional. Kebijakan pengampunan pajak akan memberikan dampak yang sangat bagus untuk pemulihan dunia usaha selama menghadapi pandemi covid-19,” tulis Misbakhun seperti dikutip CNNIndonesia.com.

Menanggapi kabar itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani memilih tidak membenarkan maupun membantahnya. Ia  hanya menekankan pemerintah tidak ingin Indonesia tertinggal dan dirugikan dari sisi perkembangan peraturan perpajakan di tingkat internasional.

Tax amnesty sendiri adalah kebijakan pengampunan kepada wajib pajak (WP) yang selama ini menyembunyikan hartanya di luar negeri dan tak pernah menyetorkan ke negara.

Hal ini memberi gambaran bahwa ada kebijakan pajak di tingkat global yang sejatinya merugikan pos penerimaan APBN Indonesia karena para wajib pajaknya dapat menyimpan harta di negara lain, tanpa khawatir bisa diperiksa oleh otoritas pajak nasional.

“Jangan sampai posisi Indonesia, dalam hal ini di posisi yang tertinggal atau dirugikan dan tertinggal dari dinamika global ini, sehingga kita bisa terus menjaga kepentingan dari penerimaan perpajakan Indonesia,” tuturnya saat konferensi pers APBN KiTa periode Maret 2021.

Namun, sejumlah pengamat menilai program tax amnesty jilid II belum mendesak digelar kembali. Pasalnya, pelaksanaan tax amnesty membutuhkan alasan yang kuat.

Sedangkan, saat ini pemerintah belum memiliki alasan kuat untuk kembali menggelar tax amnesty.

“Menurut saya, wacana kebijakan tax amnesty jilid II membutuhkan justifikasi yang kuat. Pasalnya, tax amnesty adalah kebijakan yang relatif kontroversial karena mengampuni atau menghapus pokok pajak serta sanksi,” ujar Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/3).

Menurutnya, latar belakang seperti mendorong penerimaan negara jangka pendek, jembatan ke sistem pajak baru, dan upaya menciptakan kepatuhan jangka panjang belum bisa menjadi alasan kuat penyelenggaraan kembali tax amnesty.

Ia menuturkan pelaksanaan tax amnesty jilid II berpotensi tidak membuahkan pendapatan maksimal. Pelajaran penting dari tax amnesty yang berulang kali digelar di berbagai negara bagian AS memperlihatkan bahwa penerimaan pajak yang dikumpulkan kian kecil.

Terlebih, apabila pelaksanaannya dilakukan secara berulang dalam kurun waktu tidak terlalu lama.

Meski tidak memberikan proyeksi angka penerimaan, namun Bawono memperkirakan penerimaan perpajakan dari tax amnesty jilid II tidak semaksimal tahap I.

“Jadi, sepertinya kita tidak akan memperoleh dana uang tebusan yang sebesar tax amnesty 2016-2017,” tuturnya.

Seperti diketahui, sebelumnya telah menerapkan tax amnesty jilid II pada Juli 2016-Maret 2017. Kementerian Keuangan mencatat realisasi penerimaan tax amnesty mencapai Rp130 triliun. Sementara itu, deklarasi harta WP sebanyak Rp4.813,4 triliun dan repatriasi Rp46 triliun.

Sedangkan, jumlah peserta yang mengikuti tax amnesty sebanyak 974.058 pelaporan Surat Pernyataan Harta (SPH) dari 921.744 wajib pajak. Namun, bendahara negara mengakui apabila jumlah tersebut masih kecil dibandingkan dengan potensi wajib pajak di tanah air.

Alih-alih memberikan dampak positif, Bawono menilai program tax amnesty jilid II justru menciptakan moral hazard dari sisi kepatuhan jangka panjang. Sebab, tax amnesty jilid II justru bisa menjadi sinyal program serupa yang berulang.

Sinyal itu bisa mendorong WP menunda kepatuhan lantaran berpikir akan ada program tax amnesty lanjutan untuk mengampuni ‘dosa’ pajak mereka.

“Masyarakat akan melihat bahwa pemerintah justru memberikan insentif bagi wajib pajak yang tidak patuh, insentif atas ketidakpatuhan, sehingga yang terjadi justru timbul ketidakpercayaan,” ujarnya.

 

Segendang sepenarian, Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan (UPH) Ronny Bako tidak menyetujui pelaksanaan tax amnesty jilid II. Menurutnya, pelaksanaan tax amnesty jilid II justru bisa menimbulkan polemik di ranah global.

Bahkan, ia memperkirakan Indonesia bisa mendapatkan teguran dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) apabila melaksanakan kebijakan itu.

Pasalnya, benchmark secara global untuk pelaksanaan tax amnesty adalah selama 10 tahun. Itupun untuk negara dengan sistem perpajakan yang bagus.

“Namanya amnesty, pengampunan tidak bisa berulang-ulang biasanya 10 tahunan. Nanti kita diketawain sama negara-negara maju terutama sama OECD, nanti kita bisa diboikot,” ucapnya.

Meskipun tujuannya mendorong penerimaan perpajakan, ia meramal pelaksanaannya cenderung tidak akan efektif. Menurutnya, masyarakat cenderung tidak peduli terhadap program tersebut lantaran masih dalam proses pemulihan ekonomi akibat pandemi.

“Saya ragu itu bisa berhasil, nanti OECD pasti akan protes, kita kan terikat dengan OECD,” ujarnya.

Ketimbang tax amnesty, ia mengusulkan pelonggaran perpajakan dalam bentuk cicilan bagi WP yang memiliki tunggakan. Misalnya, WP yang memiliki tunggakan untuk masa pajak 2020-2021 dibolehkan mencicil selam 3-5 kali sesuai dengan besaran tunggakannya.

Menurutnya, skema itu lebih efektif untuk mendorong penerimaan perpajakan yang kondisinya tengah lesu. Asalkan, WP mau jujur mengakui besaran tunggakannya pada periode pelonggaran itu.

“Itu urgent (mendesak), justru kita jangan kebanyakan diskusinya, harusnya bisa dieksekusi. Itu akan mendorong penerimaan perpajakan,” katanya.

Akhir Februari lalu, penerimaan pajak masih minus 4,8 persen menjadi Rp146,1 triliun. Kontraksi ini ikut menyumbang defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp63,6 triliun.

Sementara itu, kalangan pengusaha mengaku menyambut baik rencana tersebut. Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan tax amnesty jilid II akan memberikan kesempatan bagi WP yang belum berkesempatan di periode perdana 2016-2017 lalu.

“Tentunya kalau ada itu kami setuju karena itu fasilitas yang diberikan oleh negara untuk memberikan kesempatan bagi warga negara yang satu dan lain hal, laporan pajaknya mengalami kesulitan. Kalau tidak diberikan amnesty dia akan kena pinalti besar,” ujarnya.

Apabila terlaksana, ia memperkirakan WP yang memanfaatkan fasilitas pengampunan ini justru bukan berasal dari kalangan pengusaha. Pasalnya, ia mengklaim mayoritas pengusaha telah mengikuti program itu pada tax amnesty lalu.

Namun, sepakat dengan para pengamat, Hariyadi menilai tax amnesty jilid II belum mendesak dilakukan karena Indonesia terbilang baru menggelar program itu.

“Kalau bicara urgensi karena kita habis tax amnesty tidak terlalu urgent, tapi mungkin pemerintah punya pertimbangan sendiri,” katanya.