Minggu, 20 Juni 2021 / 00:09 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210619191914-532-656700/sumbangan-pajak-dan-pnbp-ke-negara-tergerus-imbas-korupsi-sda

Jakarta, CNN Indonesia — Ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, mengungkapkan bahwa korupsi di bisnis sumber daya alam seperti mineral dan tambang membuat setoran pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor ini tergerus setiap tahunnya.

“Penerimaan pajak kita terus mengalami kemerosotan karena pertambangannya semakin jebol,” ujar Faisal dalam diskusi Publish What You Pay Indonesia secara virtual, Sabtu (19/6).

Ia kemudian berkata, “Bisa dilihat koefisien pajak dari pertambangan tinggal 0,66 persen. Artinya, peningkatan nilai tambah berbasis pajak dari sektor ini cuma 0,66 persen dari yang seharusnya 1 persen.”

Faisal mengatakan perhitungan koefisien pajak dari pertambangan sebesar 0,66 persen ini merujuk pada data per akhir 2020. Padahal, sekitar 2012-2016, tingkat koefisien pajak pertambangan di Indonesia masih berada di kisaran 1,4 persen.

“Jadi semakin jelas, dalam lima tahun terakhir ketika sektor pertambangan semakin dikeruk, tapi penerimaan bagi negara turun. Ini karena adanya korupsi di sektor ini,” ucapnya.

Tingkat koefisien pajak pertambangan, sambungnya, tertinggal jauh dari sektor lain, misalnya sektor jasa keuangan. Tercatat, tingkat koefisien pajak sektor itu mencapai 3,54 persen pada 2020.

Dampak lanjutannya, sumbangan minim pajak dari sektor pertambangan membuat rasio kepatuhan pembayaran pajak di Indonesia juga kian turun. Pada 2020, misalnya, rasio pajak cuma 9,75 persen.

“Peringkat tax ratio kita 127 dari 140 negara, jadi luar biasa. Akibat lain, dengan penerimaan yang turun terus, jadi harus utang,” tuturnya.

Tak cuma kontribusi pajak yang menurun. Faisal juga mencatat setoran PNBP dari pertambangan terus tergerus. Selain karena korupsi, hal ini juga terjadi karena pemerintah terlalu ‘bermurah hati’ kepada pengusaha sektor tersebut.

“PNBP ini semakin lama kecenderungannya turun, semakin tidak bisa digali. Ini juga karena kebijakan royalti dan lainnya, yang membuat mereka (pengusaha tambang) mendapat banyak insentif, tapi setoran ke negara jadi berkurang,” katanya.

Lebih lanjut, Faisal mengatakan bahwa kerugian negara juga terjadi pada sisi investasi dan penyerapan tenaga kerja.

Kondisi ini terjadi bukan cuma karena korupsi, tapi pemerintah terlalu sering memberikan ‘karpet merah’ pada investasi dan tenaga kerja asing, salah satunya dari China.

Menurut catatannya, sumbangan investasi dari China mencapai 10,6 persen dari total modal asing yang mengalir ke Indonesia. Namun, kontribusi tenaga kerja asingnya mencapai 36,2 persen di dalam negeri.

“Ini membuat koefisiennya jadi 3,4 persen. Gampangnya, dia (China) bawa investasi satu, tapi tenaga kerjanya sampai tiga orang. Beda ini dengan investasi Singapura, misalnya, yang lebih banyak investasinya daripada tenaga kerjanya yang masuk ke kita,” katanya.

Di sisi lain, Faisal menilai korupsi yang tinggi di sektor pertambangan terjadi karena ada peran dari pemerintah pusat dan daerah. Toh, penyelenggaraan usaha pertambangan membutuhkan banyak izin, salah satunya untuk konsesi lahan.

“Penyebab terjadinya korupsi di sumber daya alam ini juga terjadi karena pemberian izin. Pengelolaan sumber daya alam kan butuh izin konsesi. Ini bisa berasal dari pemerintah,” tuturnya.

Senada, akademisi dan penyuluh anti-korupsi,HaniaRahma, mengatakan bahwa korupsi di sektor sumber daya alam memang banyak melibatkan peran dari para pemerintah daerah.

Jumlah kepala daerah yang berstatus koruptor bahkan paling banyak terdapat di provinsi dengan SDA tinggi.

“Pada periode 2004-2018, kepala daerah yang terkena kasus banyak di Kalimantan Timur sebanyak enam orang, Riau enam orang, Sulawesi Tenggara enam orang, Papua lima orang, Sumatera Selatan lima orang, dan Aceh empat orang,” ucap Hania dalam kesempatan yang sama.

Beberapa contoh kasus korupsi terkait sumber daya alam yang melibatkan kepala daerah, menurut catatannya, di antaranya kasus korupsi senilai Rp2,7 triliun oleh Bupati Konawe Utara pada 2014, korupsi senilai Rp1,2 triliun oleh beberapa bupati di Riau pada 2001-2007.

Mantan direktur pembinaan jaringan kerja antar-komisi dan internal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sudjanarko, pun mengatakan bahwa tindakan pencegahan korupsi perlu dibina lebih kuat di internal kabupaten, kota, dan provinsi.

“Frontliner untuk penyelesaian masalah ini sebenarnya ada di kabupaten/kota. Sayangnya kita ada problem serius terkait kapasitas wali kotanya, bupatinya, dan DPRD-nya,” kata Sudjanarko.

Dari sisi KPK, ia mengakui lembaga anti-rasuah juga masih kesulitan memberantas korupsi di sektor sumber daya alam ini karena jejak administrasi sebagai barang bukti masih sulit didapat. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama yang lebih luas dilakukan dengan berbagai lembaga lain.

“Memang sampai hari ini, problemnya adalah KPK belum bisa menangkap istilahnya ketua kelasnya. Yang baru bisa ditangkap adalah wakil ketua kelasnya. Kenapa KPK kok tidak bisa menangkap ketua kelasnya? Karena jejak administrasi terkait pidana itu tidak ada. Kita butuh bukti yang lebih tinggi,” katanya.