Jumat,  29 Januari 2021 / 07:13 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210128204208-532-599754/menkeu-curhat-sering-dikomplain-pengusaha-soal-pajak-digital

Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku kerap mendapat komplain dari para pengusaha konvensional yang mengeluhkan ketidakadilan sistem pajak bisnis digital.

Ani, akrab sapaannya menyebut pebisnis konvensional menilai mereka tidak mendapat perlakuan yang sama dengan pedagang online, padahal penjualan yang dihasilkan dari e-commerce terus melonjak.

Ia menyebut per Juli 2020 lalu saja, tercatat transaksi daring masyarakat Indonesia meningkat sebesar 25 persen akibat pandemi.

“Mereka komplain karena harus mempekerjakan orang, punya toko fisik, harus bayar sewa, dan bayar pajak. Sementara perusahaan digital yang ‘tidak’ memiliki kehadiran fisik dan meraup makin banyak penjualan malah tidak mendapat perlakuan pajak yang sama,” kata Ani pada diskusi OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS, Kamis (28/1).

Kemudian, Ani ‘curhat’ kalau ia kerap ditanya oleh awak media soal nilai pajak yang diraupnya dari perusahaan berbasis digital. Ia menyebut media menduga karena kian besarnya bisnis digital, pajak yang berhasil ditarik negara pun makin besar.

Padahal, tidak demikian. Pasalnya, hingga saat ini negara-negara ekonomi terkuat dunia yang tergabung dalam G-20 masih belum menyepakati soal pajak ekonomi digital. Sehingga, pajak digital masuk dalam area abu-abu.

Bendahara Negara memaparkan Indonesia sebagai negara yang memiliki transaksi ekonomi digital yang terus berkembang ingin para pemimpin G-20 segera menyepakati pajak digital di level multilateral pada tahun ini.

Ani berharap, pada pertemuan KTT G-20 tahun ini di Italia dapat dilahirkan persetujuan di level multilateral. Sehingga, pada pertemuan 2022 saat Indonesia menjadi tuan rumah, diskusi dapat difokuskan pada implementasi pajak digital.

Ini, kata Ani, bukan tugas yang mudah karena setiap negara memiliki peraturan domestik yang berbeda-beda sehingga masih harus dilakukan perundingan bilateral antar negara untuk mencapai kesepakatan konkret.

“Indonesia sebagai negara berkembang dan juga negara yang besar, transaksi ekonomi kami juga terus tumbuh, jadi untuk kami dengan tidak memiliki kewenangan memajaki aktivitas digital tentu tidak menciptakan keadilan,” pungkasnya.