22 Apr 2022, 07:00 WIB

https://www.liputan6.com/regional/read/4944772/menakar-efektivitas-tax-amnesty-ii-dalam-meningkatkan-kepatuhan-pajak-orang-kaya

Liputan6.com, Jakarta – Akademisi dan praktisi perpajakan menyoroti pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) atau Tax Amnesty II yang dinilai belum efektif mendorong kepatuhan wajib pajak dan repatriasi aset. Pemerintah dianjurkan melakukan sosialisasi kebijakan secara masif dengan melibatkan jaringan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di berbagai negara.

Pernyataan sikap ini merupakan kesimpulan dari Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarkaan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) dan MUC Consulting, belum lama ini. Ning Rahayu, Dosen Perpajakan FIA UI menjabarkan lima variabel penting pendukung kesuksesan tax amnesty di sejumlah negara yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah sebelum, selama, dan setelah pelaksanaan tax amnesty maupun PPS.

Pertama, ketersediaan data aset di luar negeri sebelum tax amnesty dilaksanakan. Kedua, sosialisasi masif ke mancanegara melibatkan konsulat atau KBRI. Ketiga, kampanye melibatkan pejabat tinggi negara (top government).

Keempat, keseriusan dalam menyusun regulasi tax amnesty yang fokus pada repatriasi aset. Idealnya, pemerintah tidak memberikan opsi deklarasi dengan rentang tarif yang tidak terlalu jauh dengan repatriasi aset. Kelima, menyediakan instrumen investasi yang tepat dan jelas keuntungannya sebagai wadah aset repatriasi.

“Negara-negara yang berhasil melaksanakan tax amnesty pada umumnya telah memperhatikan faktor-faktor pendukung tersebut. Sementara pelaksanaan tax amnesty di Indonesia belum sepenuhnya memenuhi faktor-faktor tersebut,” ujar Ning melalui siaran pers FGD FIA UI, Rabu (20/04/2022).

Menurut Ning, pemerintah perlu melakukan sosialisasi secara masif di berbagai negara agar informasi PPS dapat diterima dan dipahami WNI di luar negeri. Dengan demikian, tujuan utama tax amnesty untuk mendorong repatriasi aset ke dalam negeri dapat terwujud.

Winnie Hidayani, Senior Manager MUC Consulting menanggapi, sosialisasi perlu dilakukan dengan strategi dan pendekatan yang disesuaikan dengan segmentasi masyarakat yang menjadi sasaran PPS. Sebagai contoh, pendekatan bagi kelompok masyarakat menengah ke atas atau Orang Super Kaya dilakukan berbasis data asset yang akurat, sedangkan untuk masyarakat umum pendekatannya berupa himbauan dan edukasi.

“Perlu digaungkan lagi ke masyarakat, sebenarnya siapa saja yang harus ikut PPS dan pihak mana saja yang bisa melakukan pembetulan SPT. Masyarakat berhak melakukan pembetulan. Jangan sampai PPS mengurangi hak-hak wajib pajak, seolah-olah tidak membuka opsi pembetulan SPT,” tutur Winnie.

Karsino, Direktur MUC Tax Research Institute menambahkan, tindakan nyata pemerintah pasca-tax amnesty juga penting untuk memicu keseriusan wajib pajak dalam mengikuti PPS. Selain memperbaiki layanan publik dan sistem administrasi perpajakan, pemerintah juga dituntut untuk mengoptimalkan penegakan hukum dengan menunjukkan kemampuan dalam mendeteksi ketidakpatuhan wajib pajak berbasis data yang akurat.

“Untuk memicu agar WP individu tidak setengah-setengah ikut PPS atau total, utamanya para high-wealth, mestinya ada janji dari pemerintah bahwa akan ada law enforcement pasca berakhirnya PPS. Pemerintah harus betul-betul kasih sinyal ke WP nakal agar ke depan jangan macam-macam lagi,” dia mengatakan.

Seperti diketahui, PPS dilaksanakan selama enam bulan (1 Januari-30 Juni 2022). Setidaknya, masih ada waktu sekitar dua bulan bagi pemerintah untuk memastikan ketersediaan data, menggencarkan sosialisasi, sekaligus memperjelas saluran investasi sebagai wadah aset repatriasi.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP), sebanyak 38.325 wajib pajak yang menjadi peserta PPS dengan, dengan nilai harta bersih yang dilaporkan sebesar Rp67,46 triliun dan PPh final yang dibayarkan sebesar Rp6,86 triliun. Angka-angka tersebut jauh di bawah pencapaian program tax amnesty sebelumnya yang berlangsung selama sembilan bulan pada 2016-2017.