Sumber : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220929205042-532-854464/apa-yang-terjadi-jika-tak-lapor-spt-tahunan

Wajib pajak (WP) memiliki kewajiban untuk membuat laporan tentang Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Pajak. Pelaporan SPT bisa dilakukan secara offline atau luring dengan datang mandiri ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat atau bisa juga secara online atau daring.

Pelaporan SPT merupakan kewajiban dan memiliki konsekuensi yang mengikat bila tidak dikerjakan. Seperti bila terlambat melapor akan terkena sanksi berupa denda hingga pidana. Sanksi yang dikenakan kepada para pelanggar sudah termaktub dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP).

Dalam Pasal 7 UU KUP, disebutkan besaran sanksi sebesar Rp 100.000 yang dibebankan kepada SPT Tahunan WP Orang Pribadi dan Rp 1 juta untuk SPT Tahunan WP Badan. Biaya yang dibebankan masih bisa bertambah bila WP yang memiliki keharusan untuk membayar terlambat menyetor uang denda.

Penambahan biaya denda sudah mengacu pada tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan ditambah 5% dan dibagi selama 12 bulan. Ketentuan ini merupakan perubahan dari peraturan sebelumnya yaitu hanya sebesar 2% per bulan. Aturan ini berhaluan pada Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Mekanisme pengenaan sanksi pidana juga dicantumkam dalam Pasal 39. Pasal tersebut tertulis bahwa setiap orang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara bakal terkena sanksi pidana.

Sanksi pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun. Sedangkan untuk denda juga paling sedikit adalah 2 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

Sebagai perumpamaan, pengadilan menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada seorang wajib pajak. Vonis bersalahnya disebabkan karena wajib pajak tersebut sengaja tidak menyampaikan SPT PPh orang pribadinya tahun lalu. Selain itu, wajib pajak tersebut juga melaporkan SPT PPh orang pribadinya tidak dengan benar sesuai isinya.

Pelanggaran tersebut mengaktifkan Pasal 39 ayat (1) huruf c dan Pasal 39 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP. Sebelumnya sudah ada prosedur yang dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mengawasi pemenuhan kewajiban perpajakan dengan mengirimkan Surat Teguran dan SP2DK kepada wajib pajak tersebut.

Namun wajib pajak tersebut tidak merespons surat tersebut sehingga naik ke tahap proses penegakan hukum berupa pemeriksaan bukti permulaan dan dilanjutkan ke penyidikan. Wajib pajak tersebut tidak menggunakan haknya yang mana melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.

Lantas putusan pengadilan sendiri berlaku dan wajib pajak tersebut harus membayar denda dalam jangka waktu paling lama satu bulan. Bila jangka waktu tersebut dilewati, maka harta benda milik wajib pajak tersebut bisa disita oleh pihak kejaksaan dan kemudian dilelang untuk membayar denda.