Jakarta – Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi OECD dalam laporan Economic Outlook November 2022 memprediksi akan terjadi resesi global di tahun 2023. Resesi ini kemungkinan terjadi dalam jangka panjang.

“Tahun depan dunia telah kehilangan momentum pertumbuhan,” gambarnya. Di tahun depan, pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan akan semakin melambat menjadi 2,2%, angka ini jauh dari prediksi sebelum terjadinya perang. Lebih lanjut, di tahun 2024, pertumbuhan global diproyeksikan sebesar 2,7%.

Kondisi ini diperparah dengan prediksi bahwa tiga bank sentral utama dunia, The Fed (bank sentral Amerika Serikat/AS), Bank of England (BoE) dan European Central Bank (ECB) akan terus menaikkan suku bunga hingga awal tahun depan, dan ditahan di level tinggi hingga 2025.

The Fed diperkirakan akan menaikkan suku bunga hingga ke atas 5%, sementara BoE dan ECB di atas 4%.

Bagaimana nasib ekonomi Indonesia tahun depan?

OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan menjadi 4,7% (year on year/yoy) dari sebelumnya 4,8%. Proyeksi untuk tahun 2023 oleh OECD ini lebih rendah dibandingkan dengan target pertumbuhan ekonomi pada APBN 2023 yang mencapai 5,3% (yoy).

Terkait prediksi ekonomi dalam APBN 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan APBN memang dirancang tetap optimis di tengah kondisi global yang bergejolak.

“APBN tahun 2023 dirancang untuk tetap menjaga optimisme, dan sekaligus menjaga pemulihan ekonomi namun pada saat yang sama meningkatkan kewaspadaan di dalam respons gejolak Global yang akan terus berlangsung pada tahun depan, ” katanya saat penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun 2023 oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Kamis (1/11/2022).

Ia menggambarkan bagaimana kondisi global tahun depan dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia, mulai dari tantangan harga pangan, hingga krisis energi.

“Tantangan untuk tahun depan berhubungan dengan pangan dan energi direspons dengan APBN dimana belanja untuk ketahanan pangan meningkat menjadi Rp 104,2 triliun dari Rp 94 triliun tahun ini. Di mana pemerintah pusat membelanjakan Rp 81,7 triliun dan TKDD Rp 22,5 triliun,” kata Sri Mulyani.

“Ketahanan energi termasuk untuk menjaga masyarakat dan perekonomian dari ketidakpastian harga energi dengan subsidi energi dan kompensasi serta belanja di bidang energi mencapai Rp 341,3 triliun,” tambahnya.

Tahun depan, pemerintah menargetkan penerimaan pajak sebesar Rp 1.718 triliun, dengan kontribusi per jenis pajak yakni PPh sebesar 54,4% dengan rincian PPh Migas Rp 61,4 triliun dan PPh Non migas Rp 873,6 triliun, PPN dan PPnBM sebesar 43,2% senilai Rp 743 triliun, dan PBB dan Pajak lainnya sekitar 2,3% setara Rp 40 triliun.

Lebih lanjut, Sri Mulyani mengatakan target ini akan dicapai melalui berbagai reformasi perpajakan dan pelaksanaan undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (UU HPP) untuk memperkuat fondasi perpajakan yang lebih adil dan efektif, serta mendukung pendanaan pembangunan secara sehat dan berkelanjutan.

Source : https://www.cnbcindonesia.com/news/20221202094046-4-393169/jokowi-kejar-pajak-1718-t-saat-ekonomi-tahun-depan-gelap/