10/09/2024
Source: https://www.pajak.com/pajak/insentif-pajak-umkm-05-persen-yang-bakal-berakhir-dinilai-perlu-diperpanjang/
Pajak.com, Jakarta – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) berencana melakukan evaluasi kebijakan insentif tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebesar 0,5 persen dalam waktu dekat. Adapun, kebijakan insentif ini telah berlaku sejak 2018 dan akan berakhir pada 2024 ini.
“Jadi UMKM itu memang sangat butuh (insentif) karena memang kalau kita lihat 0,5 persen itu kan bisa menggunakan pencatatan, bukan pembukuan. Karena pembukuan itu tadi yang disampaikan di atas bahwa memang mereka cukup ribet,” kata Leander kepada Pajak.com saat ditemui di sela-sela acara UMKM Tax Community 2024, dikutip pada (9/9).
Leander berharap bahwa pemerintah akan melanjutkan pemberian insentif pajak 0,5 persen ini untuk mendukung UMKM, yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Lebih lanjut, Leander mengungkapkan bahwa pergantian presiden bulan depan juga berpotensi memengaruhi arah kebijakan pajak dan insentif untuk UMKM ke depannya. Biasanya, perubahan kebijakan dapat membingungkan UMKM yang sedang dalam tahap beradaptasi.
Menurutnya, melanjutkan kebijakan yang ada dianggap lebih baik daripada sering mengganti aturan, agar UMKM tidak menghadapi kebingungan tambahan terkait perpajakan.
Keberlanjutan dalam kebijakan pajak sangat penting untuk mendukung UMKM. Proses edukasi dan adaptasi memerlukan waktu, dan perubahan mendadak dapat menambah beban bagi pelaku usaha kecil.
“Jadi lebih baik kalau memang itu peraturan yang bagus, ya baik dilanjutkan. Dibanding kita berubah-ubah, membuat UMKM jadi makin bingung,” jelasnya.
“Insentif perpajakan bagi koperasi dan UMKM dengan omzet Rp 4,8 miliar menggunakan (tarif PPh final 0,5 persen) atau menggunakan kriteria yang normal. Apabila UMKM kita omzetnya Rp 4,8 miliar, setengah miliar (Rp 500 juta) pertama, dia tidak kena pajak. Fasilitas untuk menggunakan PPh final ini kita akan terus evaluasi. Apakah itu memang masih dibutuhkan atau kita akan terus melihat UMKM yang sudah semakin punya kapasitas, sehingga mereka juga bisa diperlakukan secara lebih adil,” jelas Sri Mulyani.
Wanita yang akrab disapa Ani itu menilai, evaluasi penting dilakukan karena sejatinya omzet tidak menggambarkan kesehatan dari UMKM. Keadilan pemungutan pajak perlu didasari oleh tingkat profitabilitas dari bisnis.
“Pengenaan pajak berdasarkan omzet tidak mencerminkan 100 persen keadilan. Karena harusnya yang dipajaki itu adalah net profit-nya, tapi karena UMKM pembukuannya tidak cukup baik atau tidak mau terlalu rumit, lebih mudah menghitungnya berdasarkan omzet. Padahal, bisa saja omzetnya Rp 600 juta, tapi setengah miliar (Rp 500 juta) cost-nya, sehingga dia hanya mendekati atau impas, bahkan rugi tapi harus tetap bayar pajak. Itu enggak adil. Kalau menggunakan (penghitungan) norma biasa, berarti harus ada pembukuan UMKM,” jelasnya.