17/11/2023
Sumber : https://www.cnbcindonesia.com/news/20231117070639-4-489734/apes-kantong-warga-ri-makin-kempes-ini-buktinya
Jakarta, Indonesia – Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengubah target penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kebijakan ini menjadi sinyal adanya potensi penurunan daya beli masyarakat, mengingat PPN erat kaitannya dengan konsumsi.
Revisi target PPN ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023.
Jokowi menetapkan target penerimaan PPN Dalam Negeri atau PPN DN turun menjadi Rp 438,79 triliun dari sebelumnya Rp 475,37 triliun dalam Perpres No. 130/2022.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis atau CITA Fajry Akbar mengungkapkan revisi itu juga sebetulnya menggambarkan respons pemerintah terhadap ketidakpastian ekonomi yang masih tinggi. Meski ia menilai tak terkait dengan potensi konsumsi yang melambat, karena masih sesuai dengan Outlook APBN 2023.
“Jadi disesuaikan dengan outlook APBN sesuai berjalannya waktu, karena ketidakpastian di tahun 2023 ini cukup tinggi. Jadi, menurut saya, revisi tersebut bukanlah proyeksi atau perkiraan kalau konsumsi akan melambat ke depannya,” ujarnya, dikutip Jumat (17/11/2023).
Data Kementerian Keuangan mencatat perolehan PPN DN telah mencapai Rp 326,61 triliun. Realisasi penerimaan PPN DN periode Januari-September 2023 itu masih tumbuh 13,4% meski melambat dari pertumbuhan Januari-September 2022 yang sebesar 39,8%.
Namun, khusus penerimaan PPN per September 2023 tercatat mengalami kontraksi sebesar 0,4%. Berdasarkan keterangan Kemenkeu dalam buku APBN itu, kontraksi terjadi karena dampak dari peningkatan restitusi pada Sektor Industri Pengolahan.
Tanda gangguan dari konsumsi ini sebenarnya sudah ditangkap pada rilis PDB Indonesia kuartal III yang berada di bawah 5%.
Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2023 hanya sebesar 5,06% dari kuartal II yang mampu tumbuh hingga 5,22%. Pola pertumbuhan ini serupa dengan tahun lalu yang pada kuartal III-2022 pertumbuhan konsumsi masyarakat turun ke level 5,39% dari kuartal sebelumnya di level 5,51%, demikian juga pada 2021 dari 5,96% menjadi 1,02%.
Perlambatan pertumbuhan konsumsi masyarakat secara musiman itu, yang jauh lebih dalam dibanding tahun lalu pun diakui para pelaku usaha. Mereka menyebutkan adanya fenomena berbagi konsumen antar sektor bisnis. Misalnya, antara pengelola pusat perbelanjaan dengan sektor pariwisata.
“Memang low seasons tahun ini kondisinya cukup dalam dikarenakan Pusat Perbelanjaan masih harus berbagi dengan wisata,” kata Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja kepada CNBC Indonesia.
Ketua Umum Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah juga mengungkapkan, khusus terkait daya beli, sebetulnya kalangan masyarakat menengah atas masih menjadi pengunjung utama ritel dan pusat belanja seperti di mal, lantaran mereka hingga kini pun masih bisa berpelesiran ke luar negeri. Namun, kelas menengah ke bawah dinilainya memang cenderung tertekan inflasi.
Ekonom senior yang juga merupakan mantan Menteri Keuangan Anny Ratnawati mengungkapkan tekanan daya beli terhadap kelas menengah ke bawah itu disebabkan tekanan inflasi bahan pangan atau volitile food yang terus meninggi saat ini akibat efek berkepanjangan El-Nino, dan masuknya masa tanam di Indonesia.
Pada November 2023, BPS mencatat inflasi secara tahunan memang masih terkendali di level 2,56% meski naik dari bulan sebelumnya di level 2,28%. Namun, untuk inflasi volitile food sudah bergerak tinggi kenaikannya ke level 5,54% dari sebelumnya di level 3,28%.
“Masyarakat miskin bawah itu konsumsinya itu antar 60%-63% dari incomenya untuk konsumsi pangan. Kalau inflasinya menghit pangan, pasti presentasenya naik, sehingga terjadi penurunan daya belinya. Jadi penurunan demandnya bukan karena faktor hari raya dan libur panjang, ini yang harus kita cermati,” ucap Anny.