Selasa, 30 Maret 2021 / 06:30 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210329210125-532-623602/95-juta-wajib-pajak-lapor-spt-per-29-maret-2021

Jakarta, CNN Indonesia — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat 9,5 juta wajib pajak (WP) telah melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan per 29 Maret 2021.

Dari jumlah tersebut, 9.209.813 di antaranya merupakan WP orang pribadi. Sementara, 291.045 lainnya merupakan WP badan.

“Perkembangan penerimaan SPT Tahunan Tahun 2020 dengan data update terakhir per 29 Maret 2021 pada pukul 09.13 WIB,” tulis keterangan resmi DJP dikutip Senin (29/3).

Lebih lanjut, dari9.209.813 WP orang pribadi, 8.890.143 di antaranya melapor melalui e-Filling, sedangkan 319.670 melapor secara manual.

Kemudian, dari291.045 WP badan, 246.211 melapor melalui e-Filling, sementara 44.834 lainnya melapor secara manual.

Berdasarkan laman resmi pajak.go.id, penyampaian SPT tahunan PPh WP OP untuk tahun pajak 2020 akan berakhir pada 31 Maret 2021. Sementara, tenggat akhir pelaporan SPT WP badan jatuh pada 30 April 2021.

DJP juga menyampaikan pengisian SPT pajak dapat dilakukan secara online. Syaratnya, WP harus memiliki surat elektronik ataupun nomor ponsel yang aktif dan mengaktifkan EFIN (electronic filing identification number) yang dapat diurus di kantor pelayanan pajak.

Sebelumnya, Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Kemenkeu Hestu Yoga Saksama mengatakan keterlambatan pelaporan SPT akan dikenakan sanksi berupa denda sebesar Rp100 ribu sampai Rp1 juta.

Biaya denda telat lapor SPT Tahunan sebesar Rp100 ribu berlaku bagi wajib pajak pribadi. Sementara, denda Rp1 juta untuk wajib pajak badan. “Aturan denda masih sama,” ujar Yoga kepada CNNIndonesia.com.

Kendati begitu, Yoga mengatakan biaya denda ini masih bisa bertambah bila wajib pajak yang seharusnya membayar denda terlambat menyetor uang denda. Penambahan biaya denda mengikuti tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).

“Untuk terlambat bayar, sanksi per bulannya adalah sesuai suku bunga acuan yang ditetapkan ditambah uplift 5 persen, dibagi 12 bulan. Paling lama untuk 24 bulan,” katanya.

Ketentuan ini berubah dari sebelumnya sebesar 2 persen per bulan. Aturan baru ini mengikuti ketentuan di Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. “Itu sudah berlaku sejak berlakunya UU Cipta Kerja 2 November 2020 kemarin, tapi akan kita perjelas dalam PP dan PMK turunan UU Cipta Kerja,” tuturnya.