Rabu, 24 November 2021 / 20:37 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211124150916-92-725507/ekspor-ri-diproyeksi-tembus-rp2852-t-pada-akhir-2021

Jakarta, CNN Indonesia — Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan (Kemendag) Kasan memperkirakan ekspor Indonesia menembus US$200 miliar atau sekitar Rp2.852 triliun (kurs Rp14.260 per dolar AS) pada akhir 2021.

“Kita bisa perkirakan sampai akhir tahun nilai ekspor bisa mencapai di atas US$200 miliar,” ujar Kasan dalam acara webinar yang diadakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) dengan tema “Pemulihan di Atas Fundamental Rapuh”, Rabu (24/11).

Menurutnya, jika hal tersebut terealisasi, maka capaian tersebut hampir menyamai rekor tertinggi sejak 2011 lalu, sekitar US$203 miliar.

Selain itu, ekspor dan impor juga menjadi penopang utama dalam pertumbuhan ekonomi di kuartal tiga. Menurut Kasan, hal tersebut berkaitan dengan kondisi eksternal dari permintaan di negara tujuan ekspor.

Kasan memaparkan, sampai Oktober 2021, neraca perdagangan RI bisa melampaui US$30 miliar atau sekitar Rp428 triliun. Hal ini juga menjadi capaian terbesar sepanjang sejarah perdagangan luar negeri RI.

“Tapi kita tidak bisa pungkiri, sampai dengan Oktober, neraca kita bisa melampaui US$30 miliar dan mungkin ini capaian terbesar selama sejarah perdagangan luar negeri,” katanya.

Di samping itu, Kasan juga menuturkan bahwa capaian ekspor bulanan di atas Rp22 miliar. “Ini juga salah satu capaian tertinggi sepanjang catatan ekspor negara kita,” imbuhnya.

Menurut Kasan, selain harga komoditi, faktor pendorong dari capaian tersebut adalah struktur ekspor sendiri. Dalam hal ini, sektor manufaktur juga menjadi salah satu kontributor ekspor terbesar.

“Kalau kita perhatikan dari sepuluh utama ekspor nonmigas, misalnya di luar batu bara dan CPO, saya kira sisanya hampir seluruhnya merupakan produk manufaktur seperti besi baja, elektronik, otomotif lalu kemudian produk kimia, alas kaki dan mesin dan alat listrik,” katanya.

Oleh sebab itu, menurutnya negara harus terus mendorong produk-produk manufaktur supaya volatilitas dari faktor harga komoditi bisa diredam. Pasalnya, saat ini, negara juga mencatat fenomena commodity super cycle atau atau periode di mana harga-harga komoditas mengalami kenaikan dalam waktu panjang.

Dari sisi negara tujuan, Kasan menyampaikan pada saat negara-negara tujuan ekspor mengalami perbaikan ekonomi, permintaan juga meningkat secara signifikan.

“Misalnya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) itu akhir September dan Oktober dengan peningkatan (ekspor) yang signifikan. Bahkan, di bulan terakhir itu defisit neraca perdagangan kita sudah kita balik,” ujarnya.