14 Jul 2022, 17:12 WIB

https://www.liputan6.com/bisnis/read/5014123/dari-sini-asal-muasal-kantong-negara-mulai-bergantung-dari-pajak

Liputan6.com, Jakarta Pajak memiliki peranan yang sangat penting bagi negara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan. Sebab pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran pembangunan.

Kasubdit Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti mengatakan, dahulu Indonesia tidak terlalu bergantung terhadap pajak. Karena sumber daya alamnya masih kaya.

Namun, seiring berjalannya waktu, sumber daya alam pun semakin menipis. Maka, negara mencari alternatif penerimaan negara melalui pajak.

“Tahun 1983 katakan itu sumber daya alam kita masih melimpah ruah, minyak kita masih banyak, Cengkeh pala juga masih banyak kopi juga masih banyak, batubara dan lain sebagainya juga masih banyak sehingga ketergantungan kepada pajak itu tidak terlalu seperti sekarang,” kata Dwi dalam Podcast Cermati, tayang di youtube resmi Direktorat Jenderal Pajak, Kamis (14/7/2022).

Dia mengatakan bahkan porsi pajak terhadap APBN itu besar yakni 72 persen. Bahkan jika ditambah dengan bea cukai maka porsi pendapatan yang masuk dalam APBN mencapai 85 persen.

“Kalau sekarang di APBN kita kalau yang pajak itu 72 persen, kalau perpajakan dengan cukai itu sampai 85 persen APBN kita. Jadi, ketergantungan katakanlah roda pembangunan pada pajak sangat tinggi,” ujarnya.

Dwi menjelaskan, semakin berkurangnya sumber daya alam di Indonesia, akhirnya para pemimpin negara mulai menyadari bahwa mereka harus mulai memikirkan alternatif sumber APBN. Diputuskanlah alternatifnya melalui pajak.

“Para pemimpin kita mulai menyadari bahwa mereka harus sudah mulai memikirkan alternatif yang ada salah satunya pajak, dan pajak diatur juga dalam dalam undang-undang dasarkan,” ujarnya.

Kemudian, tahun 1983 Pemerintah Indonesia melakukan reformasi perpajakan dengan menurunkan lima paket perpajakan dalam bentuk undang-undang, diantaranya Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cata Perpajakan (KUP), undang-undang pajak penghasilan (UU PPH), undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak bea materai, dan undang-undang pajak Bumi dan Bangunan.

“Nah setelah itu yang lebih mendasar lagi adalah kita mengganti yang namanya sistem perpajakan yang official assessment menjadi self assessment. Di tahun 83 tidak seperti itu lagi itu kita namanya self assessment sehingga wajib pajak itu dipersilahkan untuk menghitung, memperhitungkan menyetor dan melaporkan sendiri kewajiban perpajakannya, bayar, dan lapor sendiri,” ujarnya.

Dimana pada saat itu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya bertugas mengawasi wajib pajak. Apakah laporan wajib pajak sudah benar mengenai pajaknya. Hal yang dilihat DJP adalah kepatuhan dari wajib pajak itu sendiri.

Reformasi Pajak

Selanjutnya, reformasi pajak dilanjutkan pada masa reformasi tahun 1998 hingga sekarang. Dimana, tahun 1998 terjadi krisis moneter.

“Menurut saya itu adalah ditandai kita juga ada PR besar di mana kita kemudian juga harus keluar dari yang namanya krisis moneter pada saat itu. Sehingga kemudian pemerintah juga mengambil langkah-langkah yang cukup signifikan untuk kemudian kita bisa keluar dari situasi itu,” ujarnya.

Pada saat itu, Pemerintah melalui DJP mulai mempekenalkan adanya pendapatan tidak kena pajak (PTKP). Artinya, tidak semua orang harus bayar pajak. Kemudian Pemerintah juga mulai merasa bahwa ketergantungan negara kepada pajak juga semakin tinggi, sehingga target semakin dinaikkan setiap tahun.

Berlanjut, Sunset Policy yang merupakan kebijakan pemberian fasilitas perpajakan, yang berlaku hanya pada tahun 2008, dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga yang diatur dalam Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).

Demikian, hingga tahun 2022 sudah banyak reformasi yang dilakukan seperti tax amnesty jilid I, dan tax amnesty jilid II atau disebut Program Pengungkapan Sukarela (PPS).