Selasa, 09 Maret 2021 / 08:10 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210309065358-532-615311/celah-suap-dan-pentingnya-hukuman-berat-pegawai-pajak-nakal

Jakarta, CNN Indonesia — Dugaan korupsi atau suap kembali muncul di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Sekitar enam pejabat dicekal Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM agar tidak pergi ke luar negeri terkait kasus tersebut.

Salah satu pejabat yang masuk daftar, mantan direktur ekstensifikasi dan penilaian DJP Angin Prayitno Aji. Cekal dilakukan atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

“Pencegahan berlaku selama 6 bulan mulai 8 Februari 2021 sampai dengan 5 Agustus 2021,” ucap Kepala Bagian Humas dan Umum Ditjen Imigrasi Kemenkumham Arya Pradhana Anggakara beberapa waktu lalu.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebut seseorang yang dicegah umumnya telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia belum mau membuka siapa pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

“Umumnya sejak tersangka ditetapkan, ya kita cegah ke luar negeri,” kata dia, tanpa merinci sejak kapan penetapan tersangka dilakukan.

Sementara itu tak lama setelah kasus mencuat, profil Angin sebagai direktur ekstensifikasi Ditjen Pajak Kemenkeu menghilang dari laman resmi DJP.

Kalau dugaan kasus benar dan Angin terlibat, itu tentu cukup menyesakkan. Apalagi kalau melihat profil kekayaannya selama ini.

Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Angin, tercatat jumlah hartanya sudah mencapai Rp18,62 miliar per 2019.

Ekonom INDEF Tauhid Ahmad menilai jumlah harta kekayaan Angin yang fantastis itu tentu sudah mencerminkan pendapatan yang didapatnya dengan menjadi pegawai di DJP sejatinya sudah cukup.

Sayangnya, gaji besar tersebut belum menjadi jaminan mereka tahan godaan. Masih ada mereka yang berusaha memanfaatkan celah yang ada dengan mau menerima suap.

“Artinya celahnya bukan terbuka karena gaji, tapi ada celah di sistem yang mereka tahu itu masih bisa diakali dan mungkin tidak ada pihak yang awasi, hanya internal, makanya nekat melakukan,” kata Tauhid kepada CNNIndonesia.com, Senin (8/3).

Menurut Tauhid, wajar celah itu masih. Pasalnya, meski beberapa urusan pemeriksaan pajak sudah ditransformasikan ke sistem digital, ada dokumen yang perlu diurus secara langsung oleh pejabatnya.

“Assessment tidak semuanya bisa digital, harus lihat data dan tidak mudah, misal ada yang pembayarannya terlalu tinggi, apa itu bisa dinego dan lainnya, itu akan dilihat, dan memang ini yang perlu perubahan, bagaimana agar tetap adil dan wajar, tapi celahnya tertutup,” jelasnya.

Sementara dari sisi risiko hukum, Tauhid meyakini para fiskus yang tergoda sebenarnya sudah tahu betul bagaimana hukuman yang akan dihadapinya jika mereka berbuat culas. Tapi, mereka mungkin tetap berani karena memanfaatkan celah yang ada dan godaannya memang besar.

Lantas jurus apa lagi yang perlu dilakukan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati agar bisa benar-benar menutup celah korupsi di jajarannya? Tauhid menilai pengawasan internal adalah kunci.

“Jadi buat semua orang bisa mengawasi. Saya yakin masih ada pegawai pajak yang bersih, yang benar, yang baik, buat mereka berani untuk melaporkan, dan lindungi, sehingga mereka berani lapor dan terbongkar,” tuturnya.

Yang tak kalah penting adalah meningkatkan good corporate governance (GCG) di internal DJP. Lalu, lakukan pula pembinaan sadar tolak korupsi di internal.

“GCG, transparansi, sampai akuntabilitas perlu diperbaiki,” imbuhnya.

Senada, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga menilai perlu ada peningkatan pengawasan di tingkat internal. Sebab, kasus sulit terkuak bila tidak ada suara dari dalam yang berani membuka.

“Terutama dari KPP (kantor pelayanan pajak), artinya internal auditor dari lingkup DJP perlu lebih ekstra dari sisi melakukan pengawasan,” kata Yusuf.

Kemudian, kembangkan sistem pengawasan antar fiskus sehingga bisa saling mengawasi dan buat mereka tidak segan melaporkan satu sama lain bila memang mencium bau dugaan korupsi.

“Fiskus yang melaporkan juga harus mendapat apresiasi nantinya,” ucapnya.

Terakhir, Sri Mulyani perlu pastikan bahwa penindakan tidak kenal bulu. Siapa pun yang melakukan, maka harus siap dicopot dan segera mengikuti proses hukum. Bahkan kalau bisa ada aturan yang bertambah berat, sehingga niat kembali tertutup.