Selasa, 29 Juni 2021 / 07:17 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210629071029-532-660597/banyak-orang-kaya-belum-bayar-pajak-sebesar-seharusnya/1

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah tengah meminta persetujuan DPR untuk mengerek tarif pajak bagi orang kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar, yaitu dari 30 persen menjadi 35 persen. Alasannya, mulai dari meningkatkan keadilan hingga menambah pundi-pundi APBN yang terlanjur ‘boncos’ selama pandemi covid-19.

Dari sisi keadilan, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut pemerintah sebenarnya kesulitan dalam mengejar pajak orang kaya. Menurut catatannya, sumbangan pajak dari orang kaya dengan tarif pajak 30 persen cuma 1,42 persen dari total wajib pajak orang pribadi (WP OP).

Sementara orang super kaya dengan penghasilan di atas Rp5 miliar, sumbangan pajaknya cuma 0,03 persen dari total. Apabila diakumulasi, nominalnya sekitar Rp84,6 triliun dalam lima tahun terakhir.

Ani, sapaan akrabnya, menduga hal ini terjadi karena banyaknya insentif fiskal dari pemerintah. Begitu juga dengan lapisan tarif pajak yang masih terlalu sedikit di Indonesia, yaitu empat lapis. Sementara di Malaysia, tarif pajak sampai 11 lapis.

Ekonom CORE Indonesia Piter Abdullah Redjalam sependapat dengan hal ini. Ia menuturkan rendahnya pembayaran pajak dari para orang kaya memang sedikit banyak terjadi karena banjirnya insentif pajak dari pemerintah sendiri.

“Orang kaya itu, kayanya, ya juga karena insentif yang diberikan pemerintah, tidak hanya dari kekayaan mereka sendiri, dan tidak hanya saat pandemi saja (banjir insentifnya), dari dulu juga demikian,” jelas Piter kepada CNNIndonesia.com, Senin (28/6).

Tapi ini bukan satu-satunya penyebab karena ada faktor lain yang mempengaruhi. Pertama, administrasi yang sulit. Tentu sudah jadi rahasia umum bila administrasi dan birokrasi di Indonesia relatif sulit, maka wajar saja bila pemerintah selama ini berusaha untuk terus mereformasi birokrasi, termasuk di bidang perpajakan.

Cara lapor, cara bayar, hingga pemeriksaan yang berbelit-belit juga menjadi salah satu hal yang turut mempengaruhi realisasi pembayaran pajak orang kaya rendah di Indonesia.

Kedua, kedisiplinan membayar pajak.”Mereka (orang kaya) sebenarnya bayar pajak, tapi banyak yang belum bayar pajak sebesar yang seharusnya. Ini yang kemudian menjadi target Kemenkeu,” imbuhnya.

Menurut Piter, hal ini terjadi juga karena pengaruh sulitnya administrasi di dalam negeri. Kemudian juga dipengaruhi tingkat kesenjangan ekonomi dan kemajuan pendidikan masyarakat.

“Di negara maju, yang pendidikannya lebih tinggi dan kesenjangannya lebih rendah, kesadaran membayar pajaknya lebih baik. Ini didukung juga dengan administrasi yang baik dan kedisiplinan, sehingga tax ratio lebih tinggi daripada di sini,” katanya.

Pada 2013, misalnya, tax ratio Indonesia berada di kisaran 11,4 persen. Ndilalah, bukannya naik, rasio pajak masyarakat justru terus menurun dari tahun ke tahun. Puncaknya pada akhir 2020, Kementerian Keuangan memperkirakan tax ratio atau tingkat pembayaran pajak di Indonesia sekitar 8,3 persen karena tertekan dampak pandemi covid-19.

“Masalahnya, menaikkan tax ratio tidak bisa dalam waktu pendek, tapi pemerintah butuh penerimaan pajak yang meningkat dalam waktu singkat. Makanya kemudian pemerintah mencari jalan pintas dengan menaikkan tarif pajak bagi orang kaya,” ucapnya.

Atas berbagai kondisi perpajakan saat ini, Piter menilai pemerintah memang perlu menaikkan tarif pajak bagi orang kaya maupun menambah lapisan tarif pengenaan pajak. Tapi, jurus ini sejatinya tidak cukup bila masalah administrasi, kedisiplinan, dan kepatuhan tadi tidak ikut ditingkatkan.

“Perlu tambahan upaya lain seperti memperbaiki administrasi, meningkatkan kesadaran membayar pajak, hingga melakukan pemeriksaan. Wajar bila pemerintah ingin menambah layer pajak karena Indonesia memang sedikit dibandingkan negara-negara peers kita, seperti Malaysia, Thailand, dan lainnya,” ungkapnya.

Senada, Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal juga menilai masalah kepatuhan menjadi sumber dari rendahnya setoran pajak dari para orang kaya di Indonesia. Namun, ia tidak serta merta setuju dengan rencana pemerintah untuk mengerek tarif pajak dalam waktu singkat.

Pertimbangannya, kebijakan ini bisa sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan para ‘orang tajir’ untuk melakukan konsumsi. Padahal, konsumsi mereka sangat diperlukan saat ini, khususnya di era pandemi covid-19 dan pemulihan ekonomi.

Kenapa? Sebab, 20 persen kelompok pendapatan paling tinggi menyumbang hampir 50 persen dari total konsumsi masyarakat Indonesia.

Sementara, kelompok 40 persen pendapatan terendah yang selama ini banyak menikmati stimulus dari pemerintah, seperti bansos dan subsidi, sejatinya cuma menyumbang 15 persen sampai 17 persen dari total konsumsi masyarakat.

“Maka penting untuk tetap menjaga ekspektasi kelompok pendapatan tinggi ini demi mendorong pemulihan ekonomi sepanjang 2021. Apalagi, konsumsi masih terhitung menjadi kontributor terbesar untuk pertumbuhan ekonomi,” tutur Fithra.

Menurut Fithra, pemerintah perlu menunggu momentum yang lebih tepat untuk mengerek tarif pajak para orang kaya.

Meskipun disadarinya, rencana kebijakan ini terbilang wajar karena kepatuhan masih rendah dan APBN sudah terlalu ‘boncos’ menanggung pendanaan untuk penanganan dampak pandemi dan pemulihan ekonomi.

Bahkan, menurut hitung-hitungannya, jika kebijakan ini dilakukan dalam waktu cepat ketika ekonomi Indonesia belum benar-benar pulih, dampaknya justru mengontraksi pertumbuhan sebesar 0,18 persen.

Selain itu, kebijakan ini berpotensi menggerus pendapatan masyarakat sekitar 0,4 persen dan meningkatkan pengangguran sekitar 0,27 persen.

Untuk itu, ia mewanti-wanti agar kebijakan mengerek pajak orang kaya bisa menunggu momentum yang tepat setelah ekonomi benar-benar pulih.

“Yang jelas jendela kesempatan masih terbuka, peluang pulih tetap tersedia asalkan strategi tetap sejalan dengan momentum,” pungkasnya.