Kamis, 04 November 2021 / 21:00 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211104202633-78-716836/asa-ojk-didik-bank-digital-raih-cuan-dan-lindungi-nasabah

Jakarta, CNN Indonesia — Bisnis bank digital boleh dibilang justru mendapat berkah di tengah pandemi covid-19. Sebab, pembatasan mobilitas dan aktivitas dari pemerintah membuat masyarakat jadi serba mengandalkan transaksi keuangan digital.

Lihat saja, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat transaksi internet banking mencapai Rp20,09 triliun per Agustus 2021. Begitu juga dengan SMS dan mobile banking mencapai Rp4,68 triliun pada periode yang sama.

Tingginya transaksi digital ini berasal dari aktivitas dan jumlah penggunanya yang juga meningkat. Tercatat, jumlah akun nasabah di lembaga perbankan elektronik (LPE) dan lembaga perbankan digital (LPD) naik dari 264 juta akun pada 2018 menjadi 337 juta akun pada 2020.

Kebutuhan yang besar dan peluang cuan yang tinggi membuat bisnis di sektor ini kian seksi. Maka tak heran, jumlah pemainnya pun bertambah, yakni dari 85 penyelenggara pada 2018 menjadi 124 penyelenggara pada 2020.

Para pemain ini ada yang merupakan bank konvensional namun tengah bertransformasi menjadi bank digital dan ada juga yang sudah sepenuhnya mendeklarasikan diri menjadi bank digital. Misalnya, Jenius dari BTPN, TMRW dari Bank UOB, Digibank, Bank Digital BCA, Bank Neo Commerce, Bank Jago, Bank Aladin, dan lainnya.

“Bahkan saat ini terdapat 18 bank yang telah menyediakan layanan digital on boarding tanpa tatap muka langsung (fully digital),” ujar Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK Teguh Supangkat di acara perilisan Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan, Selasa (26/10).

Hasilnya, para bank separuh digital maupun fully digital mampu meraih cuan yang besar. Bahkan, potensi keuntungan bisa semakin besar mengingat Indonesia punya pasar yang besar dan akan terus bertumbuh ke depan.

Data OJK dari sejumlah studi mencatat potensi pasar digital Indonesia mencapai US$124 miliar pada 2025. Nilai ini muncul dari asumsi peningkatan jumlah pengguna layanan bank secara digital yang saat ini baru sekitar 39,2 persen dari total populasi.

Kendati punya potensi cuan yang besar, tapi bisnis bank digital bukan berarti tak punya risiko. Hasil kajian Dana Moneter Internasional (IMF) mencatat rata-rata nilai kerugian bank di dunia akibat serangan siber oleh para peretas (hacker) mencapai US$100 miliar per tahun.

Khusus di Indonesia, menurut catatan Teguh, nilai kerugian riil di bank-bank umum mencapai Rp246,5 miliar pada semester I/2020 sampai semester I/2021. Untuk itu, perlu ada mitigasi agar bank digital bisa tetap meraih cuan dari bisnis yang tengah ‘naik daun’ ini, namun nasabah juga tetap mendapat perlindungan.

Pendidikan ke Bank Digital

Anggota Dewan Komisioner sekaligus Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana menyatakan hal ini yang kemudian menjadi dasar bagi lembaganya untuk memberikan ‘didikan’ kepada bank digital di Indonesia. Caranya dengan memberikan rambu-rambu penyelenggaraan bisnis bank digital.

Rambu-rambu itu terdiri dari dua jenis, pertama, Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Kedua, Cetak Biru Transformasi Digital Perbankan.

“Ini landasan kita untuk berubah dengan cepat dan secara adaptif dan agar bisa lebih agile (lincah),” ucap Heru.

Secara singkat, beberapa poin yang diatur dari POJK Bank Umum menyatakan bahwa bank digital bisa dibentuk dari transformasi bank biasa menjadi digital maupun pendirian baru di mana bank tersebut benar-benar murni digital sejak lahir. Tapi, ada ketentuan berbeda bagi bank digital dari segi asal muasalnya ini.

Untuk bank digital yang terbentuk dari hasil transformasi bank konvensional, modal minimumnya cukup Rp3 triliun. Sementara bank yang murni digital dari awal harus memiliki modal minimum sebesar Rp10 triliun.

Heru mengatakan aturan soal modal minimum ini tidak asal sebut angka, tapi berdasarkan kajian matang. Salah satunya, bank yang sepenuhnya digital perlu mitigasi risiko lebih besar, sehingga harus ditopang dengan modal yang lebih besar.

“Ini juga dorong konsolidasi, sehingga mereka manfaatkan yang sudah ada ekosistemnya, SDM-nya, teknologinya, meski akan disesuaikan, supaya mereka (investor) tertarik ambil bank-bank kita yang sudah ada. Itu alasannya kenapa Rp10 triliun,” jelasnya.

Tak cuma dari segi permodalan, OJK juga memasang rambu-rambu pada pengelolaan, transfer, dan perlindungan data, manajemen risiko, hingga perlindungan bagi bank dan nasabah dari serangan siber oleh para hacker. Saat ini, cetak birunya sudah ada, tapi akan diperkuat dengan POJK yang diterbitkan sesegera mungkin.

“Ini karena kritikal sekali dan harus diikuti oleh bank. Bedanya dengan panduan yang sekarang ada, kita akan minta bank untuk menerapkannya,” katanya.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai langkah sigap OJK menyusun aturan dan cetak biru bank digital di Indonesia sengaja dilakukan karena ingin pengaturan dan pengawasan pada sektor ini benar-benar matang.

Ia menduga otoritas tak ingin memberi kelonggaran sedikit pun seperti yang pernah diterapkan dalam pengelolaan perusahaan fintech atau pinjaman online (pinjol) legal.

“OJK tidak ingin mengulang aturan fintech yang semula longgar tapi justru menjadikan jumlah fintech terlalu banyak, sehingga pengawasannya sulit,” ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com.

Menurutnya, dulu OJK agak melonggarkan aturan fintech karena lembaga keuangan ini kental dengan inovasi, sehingga masih butuh ruang untuk berkembang. Tapi pada bank digital, menurutnya, bisa ketat di awal karena banyak didominasi oleh transformasi bisnis.

“Sehingga OJK lebih sigap mengatur detailnya,” imbuhnya.

Alasan lain, menurutnya, karena risiko di bank digital sejatinya tidak minim. Khususnya yang berupa serangan siber dari para hacker karena semua data dan transaksi dilakukan secara digital dan bukan tidak mungkin diretas.

“Bank digital ini kan jalin kerja sama cross platform, jadi itu betul-betul harus detail aturan pemanfaatan data dan perlindungan nasabahnya,” tuturnya.

Kendati aturan semakin ketat, namun hal ini rupanya tidak menekan keyakinan para pemain di bisnis bank digital untuk memperbesar usaha mereka. Salah satunya Bank Jago.

Bank justru menilai aturan-aturan dari OJK sangat bisa diadaptasikan dengan cepat dan bahkan menunjang tercapainya peluang bisnis yang lebih besar ke depan. Bahkan, Bank Jago menargetkan penyaluran kredit mereka bisa langsung dari aplikasi pada 2022.

Ini merupakan pengembangan dari skema penyaluran kredit saat ini yang masih dilakukan dengan fintech peer-to-peer (p2p) lending. Tapi, dari penyaluran melalui pinjol saja, nilai aliran kredit yang mereka berikan sudah mencapai Rp3,71 triliun per September 2021.

Nilainya melejit 502 persen dari Rp619 miliar pada September 2020. Untuk itu, bank menargetkan bisa semakin memberi kemudahan kredit kepada nasabahnya ke depan, yang saat ini sudah mencapai 700 ribu orang.

“Ditunggu kapan tanggal mainnya ya. Tapi sekarang kami harus cari customer based yang besar dan bisa build analytic untuk lending,” tutur Direktur Utama Bank Jago Karim Siregar.

Laporan ini menjadi bagian partisipasi dalam lomba penulisan ‘Satu Dasawarsa OJK Mengabdi Untuk Negeri’.