Senin, 13 Desember 2021 / 18:40 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20211213175816-532-733521/alasan-tarif-cukai-rokok-2022-naik-12-persen

Jakarta, CNN Indonesia — Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan ada sejumlah alasan yang membuat tarif cukai rokok naik rata-rata 12 persen pada tahun depan. Mulai dari permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi), dampak rokok terhadap kesehatan, serta keberlangsungan tenaga kerja dan industri.

“Bapak Presiden memberikan arahan antara 10 persen sampai 12,5 persen. Kami menetapkan di 12 persen,” ungkap Ani, sapaan akrabnya saat konferensi pers virtual, Senin (13/12).

Sementara, khusus untuk rokok jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT), Jokowi meminta agar kenaikan tarif tidak lebih dari 5 persen. Dengan begitu, Ani mengerek tarif cukai di kisaran 4,5 persen.

Selanjutnya, pemerintah juga mempertimbangkan sisi kesehatan. Ia mengatakan keluarga Indonesia dengan anggota keluarga perokok memiliki potensi anak stunting alias kekurangan gizi sekitar 5,5 persen lebih tinggi dari yang tidak merokok.

“Perokok juga lebih berisiko 14 kali terinfeksi covid-19 dibandingkan dengan bukan perokok,” ujar Ani.

Kendati begitu, masyarakat Indonesia rupanya tidak mengurangi konsumsi rokoknya. Bahkan, di masa pandemi covid-19 sekalipun.

Padahal, dengan tingginya potensi covid-19 terhadap perokok bakal membuat pemerintah merogoh kocek lebih dalam untuk membiayai penanganan perokok yang menjadi pasien virus corona.

“Pemerintah pada 2021 untuk sektor kesehatan dalam rangka PEN, terutama untuk therapeutic mengeluarkan sebesar Rp62,01 triliun,” katanya.

Lalu, pertimbangan lainnya adalah tingginya kebutuhan biaya kesehatan akibat merokok. Ani mencatat biaya kesehatan mencapai Rp17,9 triliun sampai Rp27,7 triliun.

“Dari total biaya ini, terdapat Rp10,5 triliun sampai Rp15,6 triliun yang merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan atau setara dengan 20 persen sampai 30 persen dari subsidi PBI JKN sebesar Rp48,8 triliun per tahun,” jelas Ani.

Kemudian, pemerintah mempertimbangkan sisi pendapatan per kapita. Menurut Ani, pendapatan per kapita suatu negara akan lebih rendah bila tenaga kerjanya mengalami kekurangan gizi.

Selain itu, pemerintah juga ingin kenaikan cukai rokok bisa menurunkan tingkat prevalensi perokok dewasa dan anak. Saat ini, prevalensi perokok dewasa sebesar 71,3 persen atau menempati peringkat pertama di dunia.

“Hal ini karena harga rokok di Indonesia tergolong murah, jauh di bawah rata-rata dunia. Paling mahal di Australia US$21, rata-rata dunia US$4, sedangkan Indonesia US$2,1 per bungkus,” ucap Ani.

Sementara, prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun mencapai 9 persen pada 2020. Padahal, pemerintah ingin prevalensi perokok anak turun jadi 8,7 persen pada 2024.

“Kenaikan harga rokok terlalu lambat, rata-rata 10,3 persen per tahun dengan kenaikan tarif rata-rata 9,8 persen, sehingga menyebabkan prevalensi rokok anak-remaja justru meningkat,” terang Ani.

Tak ketinggalan, penyesuaian tarif cukai rokok tetap memperhatikan dampak kenaikannya terhadap keberlangsungan industri tembakau. Hal ini khususnya industri rokok jenis sigaret kretek tangan yang memiliki banyak tenaga kerja atau padat karya.

Terakhir, pemerintah ingin menggunakan penerimaan dari kenaikan tarif cukai rokok sebagai dana bagi hasil (DBH) bagi daerah. DBH nantinya digunakan untuk penanganan masalah-masalah kesehatan, kesejahteraan masyarakat, hingga penegakan hukum.