Jumat, 16 Oktober 2020 / 06:34 WIB

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20201015213809-78-558999/alasan-rupiah-tertekan-belakangan-ini-versi-bi

Jakarta, CNN Indonesia — Bank Indonesia (BI) menyatakan ketidakpastian di ekonomi dan pasar keuangan global yang masih tinggi menekan nilai tukar mata uang di negara-negara berkembang, termasuk rupiah, dalam beberapa hari terakhir.

Bank sentral nasional mencatat akibat kondisi itu rupiah melemah 2,13 persen pada September 2020. Depresiasi rupiah mencapai 5,56 persen bila dibanding akhir 2019.

“Ketidakpastian pasar keuangan global tetap tinggi, dipicu isu geopolitik,” ujar Direktur Eksekutif sekaligus Kepala Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko dalam keterangan resmi, Kamis (15/10).

Ketidakpastian yang tinggi selanjutnya membuat aliran modal asing yang masuk (capital inflow) ke negara-negara berkembang cenderung tertahan. Padahal, itu dibutuhkan untuk menopang kurs.

Tercatat, aliran modal asing justru keluar (capital outflow) sebesar US$1,24 miliar pada akhir bulan lalu.

“Hal tersebut berdampak pada terbatasnya aliran modal ke negara berkembang dan menahan penguatan mata uang berbagai negara, termasuk Indonesia,” jelasnya.

Kendati begitu, bank sentral nasional melihat pemulihan ekonomi global sejatinya mulai terjadi. Hal ini tercermin dari membaiknya berbagai indikator ekonomi di sejumlah negara pada September 2020.

“Pemulihan ekonomi global mendorong peningkatan beberapa indikator seperti mobilitas masyarakat global, Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur dan Jasa di beberapa negara, serta keyakinan konsumen di AS dan kawasan Eropa,” katanya.

Selain itu, BI juga melihat ada potensi pemulihan ekonomi global dari pengaruh realisasi penyaluran stimulus fiskal di berbagai negara di dunia. Utamanya, stimulus fiskal di AS dan China.

Stimulus fiskal juga berpotensi menopang pemulihan ekonomi nasional. Per 7 Oktober 2020, realisasi penggunaan anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) mencapai Rp331,29 triliun atau 48 persen dari pagu Rp695,2 triliun.

“Perkembangan terkini mengindikaikan pemulihan permintaan domestik, setelah mengalami kontraksi pertumbuhan pada kuartal II 2020,” terangnya.